Kami memutuskan memangkas pohon-pohon itu agar tidak terlalu tinggi. Buah-buah jambu itu kadang jatuh, kadang ada yang meminta, kadang aku yang panen. Demikian pula pohon-pohon lain menghasilkan buah pada musimnya. Dipanen dan dibagi kepada tetangga.Â
Pohon-pohon itu tidak hanya sebagai penghasil buah tetapi menjalankan fungsi alaminya sebagai penahan air tanah, memberi kesejukan dan oksigen serta keteduhan.
Pohon-pohon itu juga menjadi tempat bermalam beberapa ekor burung. Salah satunya burung kutilang yang menyanyikan nada yang indah setiap pagi. Setiap pukul 05.40 - 05.55. Hanya sekitar 15 menit setiap paginya. Begitulah akhirnya aku memperhatikan keberadaan mereka. Detil waktu mereka pamer kicau.
Sekali waktu aku pernah melihat wujud cantiknya ketika terbang ke dahan yang lebih rendah sebelum terbang jauh dalam pengembaraan hari itu. Ternyata begitulah rutinitas tetangga yang baru kusadari betul keadaan mereka. Selama ini aku mengira burung-burung gereja yang ramai disana. Bukan. Burung gereja berkicau menjelang siang sampai sore hari.
Buah jambu itu menjadi sumber makanan bagi burung-burung bertengger. Mungkin buah-buah matang itulah alasan mereka tetap tinggal. Seandainya dulu pohon-pohon itu kutebang, tentu tak ada suara yang menemani pagi hariku. Bahkan membangunkanku ketika jam tidur yang berubah malam tadi. Suara burung itu akan menyadarkanku tentang kata terlambat. Aku akan segera bergegas agar tidak terlambat dan menyebabkan keterlambatan yang lain pula.
Kicau kutilang di atas  pohon jambu kelutuk mengingatkanku atas anugerah kehidupan dari sang Khalik. Kicau kutilang yang berterimakasih padaku atas pohon jambu kelutuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H