Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer

Perempuan biasa yang suka menulis apapun

Selanjutnya

Tutup

Horor

Tledhek Desa Kedungmati

16 Agustus 2024   11:43 Diperbarui: 16 Agustus 2024   12:06 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Design by Canva (TiSu Dok)

Seorang gadis dengan tahi lalat di lidahnya yang menjulur-julur, berjalan melintasi keramaian. Tahi lalat itu hitam bulat sempurna menyembul antara papila. Letaknya tepat di ceruk sulkus median. Konon menurut kabar yang terbawa angin, ia adalah putri sang angkara yang terlahir ketika bulan bulat merona. 

"Gadis iblis," bisik seorang perempuan sembari terus membetulkan cepol rambutnya agar lebih tinggi.

"Lihatlah tatapan matanya!" sahut yang lain pada Mirah, perempuan bercepol tadi. Seperti biasa, jika ada sesuatu yang tak sesuai kelaziman penduduk desa, maka mulut-mulut akan menjadi lebih panjang. 

"Mulutnya berbisa khas perempuan penggoda. Hati-hati suamimu, Rah." Dipanasi seperti itu, dada Mirah terbakar. Rambut cepolnya ia bongkar dan pasang lagi lebih tinggi, seolah hendak menunjukkan keangkuhannya.

"Kata kang Sapar dia tledhek desa Kedungmati" Mirah membuat suara lagi. Sementara tangannya sibuk mengemas barang belanjaan milik pelanggannya menggunakan daun keranjanh kayu.

"Desa yang hilang itu?" 

"Ya. Sepertinya dia juga tak makan makanan manusia." Dan cerita-ceritapun terus bergulir dengan tambahan bumbu perkiraan yang dilebihkan agar terdengar menarik. Selalu seperti itu.

Gadis itu bernama Srikanti. Tak seorangpun mengetahui dengan pasti dari mana asalnya. Semua informasi tentangnya hanyalah kabar burung. Srikanti datang bersama rombongan penari atau biasa disebut tledhek, yang menghibur di pendopo kademangan tiap Jumat malam.

Dalam setiap tarian Srikanti, mengundang angin. Angin itu meliuk di antara pepohonan lalu mematahkannya beberapa. Membuat dingin sekaligus panas suasana. Para lelaki akan betah berlama-lama memandangnya. Tak ada yang bisa lepas dari pesona Srikanti.

***

"Sri, sudah lengkap ritualnya?" Seorang perempuan berkebaya kutubaru dengan dada menyembul tiba-tiba memunculkan wajah dari balik tirai pembatas. 

"Sudah, Nyi," sahut Srikanti datar.

Nyi Sesawi, perempuan berkutubaru itu, menengok belakang sekilas kemudian masuk. Ia buka genggaman tangannya lalu menyodorkan sesuatu ke mulut Srikanti.

"Makanlah!" perintahnya pelan.

Srikanti membuka mulut sedikit lebar. Setelah menjulurkan lidah untuk mengelap bibir, ia mengecap. Seketika aroma bunga menguar dari dalamnya. Aroma itu menyebar ke setiap sudut ruang ganti penari utama. 

Di luar, penonton yang didominasi para lelaki sudah mulai gaduh. Gendangpun ditabuh, menandakan pertunjukan tari harus segera dimulai. Bebunyian dari bonang, saron, dan seluruh piranti gamelan menyusul. Rancak dan harmonis. 

Tirai disibak. Srikanti menapakkan kaki tanpa alas. Ia mulai menggerakkan tubuhnya yang malam ini dibalut kebaya hijau. Ki Demang Jagad menatap takjub ke depan. Senyum selalu terukir di bibirnya. Srikanti menari begitu gemulai. Seluruh tubuhnya menyatu dengan angin. Bergerak, meliuk, berputar. Srikanti seperti kerasukan. 

Aroma bunga bercampur kemenyan makin menggiring dalam suasana yang lain. Semakin lama tarian Srikanti melenakan. Angin meniup lembut ubun-ubun para lelaki yang matanya melotot tak mau berkedip melihat Srikanti menari sepanjang malam. Begitulah keseharian mereka. Sepanjang hari mengadu ayam, menjelang malam tidur bagai orang pingsan, dan Jumat malam menonton hiburan meninggalkan wanitanya yang sibuk mengais uang. 

***

"Srikanti, keluarlah!" Mirah datang bersama gerombolan perempuan, berteriak-teriak mengalahkan burung ciblek di atas pohon angsana. Cepol di kepalanya makin tinggi.

Srikanti baru saja tersadar. Kepalanya berdenyut tak karuan. Kebaya tari berwarna hijau masih melekat di badan. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Mungkin dia tidur. Mungkin juga pingsan. Kini dia harus menghadapi keriuhan memuakkan. 

"Hei Sri, di mana kamu sembunyikan lelaki kami?" Nada penuh emosi keluar dari mulut Mirah tepat ketika Srikanti memperlihatkan wajah di sela pintu yang belum sepenuhnya terbuka. 

Seperti biasa, Srikanti memandang dengan mimik datar. Seperti danau berjumpa senja, tenang tapi penuh kehidupan. 

"Jangan diam saja. Semalam lelaki kami tak pulang setelah nonton tledhekan." Perempuan tambun berdaster bunga-bunga, tiba-tiba merangsek maju. Tangannya sigap menarik rambut sang penari. 

Sakit. Sungguh sakit. Ribuan paku terasa ditusukkan di kepala. Namun, Srikanti tetap bungkam. Seringai tipis dipertontonkan hanya untuk mengabarkan bahwa dia takkan takut melawan sekumpulan betina liar di depannya. 

"Untuk apa kalian mencari? Bukankah mereka pria-pria tak berguna?" desis Srikanti tajam. 

Kata-kata itu menjadi pemicu kemarahan yang kian memuncak. Cengkeraman di rambut semakin kencang. Mirah dan lainnya turut mendekat, menampar, kemudian mencakar sekenanya. Tubuh Srikanti diseret beramai-ramai menuju pendopo kademangan. 

"Cepatlah mengaku!" teriak histeris salah satu di antara kelima perempuan itu setelah mendorong Srikanti hingga tersungkur di kaki meja jati tua milik Ki Demang. 

"Ada apa ini?" Suara serak nan berwibawa mengheningkan kegaduhan sejenak. Ki demang Jagad menyempilkan cangklong di bibir sebelah kiri. Asap membumbung setelahnya. Matanya memandang tajam pada perempuan yang mendorong sang primadona tari. 

"Pakde, kang Sapar dan beberapa pria lain hilang," adu Mirah.

"Hilang bagaimana to, Nduk?"

"Dari semalam mereka tak kembali. Pasti gadis iblis ini yang memeletnya. Entah di mana dia sembunyikan."

Lima lelaki menghilang secara misterius hari ini. Ki Demang memanggil Broto -- centeng kepercayaannya, untuk mengerahkan warga mencari para pria itu. Broto menyingkir, gerombolan perempuan lainnya datang. Aroma kotoran ayam seketika menyeruak. Tampak kaki-kaki mereka menghitam bersemu putih, penuh lumpur kandang. 

"Ki, ayam kami banyak yang mati," lapor salah satunya dengan penuh kemarahan. 

"Jangan-jangan semua ini karena Srikanti, Pakde," sahut Mirah memprovokasi. 

"Usir saja dia, Ki. Srikanti datang membawa malapetaka." 

Ki Demang Jagad terduduk lesu memijat dahinya. Pusing. Sungguh pusing. Dia menoleh pada Srikanti yang sedang menatap nyalang padanya. Sanggulnya belum terurai, tetapi beberapa anak rambut sudah terlepas dari sasakannya. Tampak mengenaskan. 

"Dasar gadis iblis," maki Mirah. 

Srikanti menyeringai, menegakkan tubuh, lalu meludahi Mirah tepat mengenai pipinya. Mirah meradang. Ki Demang berdiri membeku, bingung hendak membela siapa -- Mirah keponakannya, ataukah Srikanti, gadis yang diam-diam disukainya. 

Warga yang sudah dikuasai emosi menggeruduk Srikanti yang terduduk lemas di kaki meja. Mirah mencakar wajah mulus Srikanti. Disusul yang lain menjambak, menarik serta memukul. Teriakan kekesalan dan umpatan menggaung. Riuh sekali. Ki Demang tak berani berbuat apapun. Namun, Srikanti hanya memandang mereka dalam diam. Ia tersenyum, tertawa, dan tersenyum lagi. Pandangannya menatap ke arah seseorang yang berdiri angkuh di seberang jalan sebelum akhirnya buram dan gelap.

Nyi Sesawi menyaksikan dari kejauhan. Matanya menyorot tajam dan dingin. Sesekali ia membetulkan letak kebaya kutubarunya. Senyum bengis tersungging di bibir tebal bergincu itu.

"Nyi, tolong kembalikan aku ke duniaku," mohon Srikanti dalam ketidaksadarannya.

"Aku sudah mengabulkan permintaanmu untuk menjadi tledhek. Maka kau juga harus menuruti kata-kataku. Balaskan dendamku agar desa Kedungmati bangkit kembali," bisik Nyi Sesawi dari jauh. Setelah itu, mulutnya berkomat-kamit membaca mantra. 

Dalam balutan kebaya yang kini seolah berganti warna merah darah, Srikanti bangkit. Mata tajamnya menatap puluhan manusia di depannya. Kerumunan mundur beberapa langkah bagai terhipnotis. Srikanti melangkahkan kaki yang penuh luka dengan pelan, terseok menuju tempat Mirah berdiri. Tangannya diangkat. Darah menetes-netes di sela jari, kemudian jatuh ke tanah. Tangan itu mencengkeram kuat dagu Mirah. Srikantipun tertawa menampakkan tahi lalat di lidahnya dan berlalu setelahnya, sambil melantunkan kidung kelam. 

"Semoga ribuan lebah menyengat mulutmu," teriaknya kencang serupa sumpah serapah. Suaranya memekakkan telinga siapa saja yang mendengar. Lidahnya menjulur-julur menjilat kebencian. 

Kemudian satu ekor lebah datang. Disusul dua ekor lebah, tiga ekor, empat ekor, hingga ribuan lebahpun datang mengerumuni mulut-mulut durjana seolah madu yang takkan ada habisnya.

Tentang penulis:

Tia Sulaksono, sering disingkat dengan Tisu. Penulis sekaligus fotografer amatir yang hanya ingin dikenal melalui karyanya. Lulusan S1 sastra Inggris. Beberapa artikel pernah diterbitkan di tabloid hobi. Satu buku solo cerita anak dan 14 buku antologi sudah dihasilkan, beberapa penghargaan di bidang fotografi pernah diraih. Instagram: tia_sulaksono. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun