Lima lelaki menghilang secara misterius hari ini. Ki Demang memanggil Broto -- centeng kepercayaannya, untuk mengerahkan warga mencari para pria itu. Broto menyingkir, gerombolan perempuan lainnya datang. Aroma kotoran ayam seketika menyeruak. Tampak kaki-kaki mereka menghitam bersemu putih, penuh lumpur kandang.Â
"Ki, ayam kami banyak yang mati," lapor salah satunya dengan penuh kemarahan.Â
"Jangan-jangan semua ini karena Srikanti, Pakde," sahut Mirah memprovokasi.Â
"Usir saja dia, Ki. Srikanti datang membawa malapetaka."Â
Ki Demang Jagad terduduk lesu memijat dahinya. Pusing. Sungguh pusing. Dia menoleh pada Srikanti yang sedang menatap nyalang padanya. Sanggulnya belum terurai, tetapi beberapa anak rambut sudah terlepas dari sasakannya. Tampak mengenaskan.Â
"Dasar gadis iblis," maki Mirah.Â
Srikanti menyeringai, menegakkan tubuh, lalu meludahi Mirah tepat mengenai pipinya. Mirah meradang. Ki Demang berdiri membeku, bingung hendak membela siapa -- Mirah keponakannya, ataukah Srikanti, gadis yang diam-diam disukainya.Â
Warga yang sudah dikuasai emosi menggeruduk Srikanti yang terduduk lemas di kaki meja. Mirah mencakar wajah mulus Srikanti. Disusul yang lain menjambak, menarik serta memukul. Teriakan kekesalan dan umpatan menggaung. Riuh sekali. Ki Demang tak berani berbuat apapun. Namun, Srikanti hanya memandang mereka dalam diam. Ia tersenyum, tertawa, dan tersenyum lagi. Pandangannya menatap ke arah seseorang yang berdiri angkuh di seberang jalan sebelum akhirnya buram dan gelap.
Nyi Sesawi menyaksikan dari kejauhan. Matanya menyorot tajam dan dingin. Sesekali ia membetulkan letak kebaya kutubarunya. Senyum bengis tersungging di bibir tebal bergincu itu.
"Nyi, tolong kembalikan aku ke duniaku," mohon Srikanti dalam ketidaksadarannya.
"Aku sudah mengabulkan permintaanmu untuk menjadi tledhek. Maka kau juga harus menuruti kata-kataku. Balaskan dendamku agar desa Kedungmati bangkit kembali," bisik Nyi Sesawi dari jauh. Setelah itu, mulutnya berkomat-kamit membaca mantra.Â