"Hei Sri, di mana kamu sembunyikan lelaki kami?" Nada penuh emosi keluar dari mulut Mirah tepat ketika Srikanti memperlihatkan wajah di sela pintu yang belum sepenuhnya terbuka.Â
Seperti biasa, Srikanti memandang dengan mimik datar. Seperti danau berjumpa senja, tenang tapi penuh kehidupan.Â
"Jangan diam saja. Semalam lelaki kami tak pulang setelah nonton tledhekan." Perempuan tambun berdaster bunga-bunga, tiba-tiba merangsek maju. Tangannya sigap menarik rambut sang penari.Â
Sakit. Sungguh sakit. Ribuan paku terasa ditusukkan di kepala. Namun, Srikanti tetap bungkam. Seringai tipis dipertontonkan hanya untuk mengabarkan bahwa dia takkan takut melawan sekumpulan betina liar di depannya.Â
"Untuk apa kalian mencari? Bukankah mereka pria-pria tak berguna?" desis Srikanti tajam.Â
Kata-kata itu menjadi pemicu kemarahan yang kian memuncak. Cengkeraman di rambut semakin kencang. Mirah dan lainnya turut mendekat, menampar, kemudian mencakar sekenanya. Tubuh Srikanti diseret beramai-ramai menuju pendopo kademangan.Â
"Cepatlah mengaku!" teriak histeris salah satu di antara kelima perempuan itu setelah mendorong Srikanti hingga tersungkur di kaki meja jati tua milik Ki Demang.Â
"Ada apa ini?" Suara serak nan berwibawa mengheningkan kegaduhan sejenak. Ki demang Jagad menyempilkan cangklong di bibir sebelah kiri. Asap membumbung setelahnya. Matanya memandang tajam pada perempuan yang mendorong sang primadona tari.Â
"Pakde, kang Sapar dan beberapa pria lain hilang," adu Mirah.
"Hilang bagaimana to, Nduk?"
"Dari semalam mereka tak kembali. Pasti gadis iblis ini yang memeletnya. Entah di mana dia sembunyikan."