"Sri, sudah lengkap ritualnya?" Seorang perempuan berkebaya kutubaru dengan dada menyembul tiba-tiba memunculkan wajah dari balik tirai pembatas.Â
"Sudah, Nyi," sahut Srikanti datar.
Nyi Sesawi, perempuan berkutubaru itu, menengok belakang sekilas kemudian masuk. Ia buka genggaman tangannya lalu menyodorkan sesuatu ke mulut Srikanti.
"Makanlah!" perintahnya pelan.
Srikanti membuka mulut sedikit lebar. Setelah menjulurkan lidah untuk mengelap bibir, ia mengecap. Seketika aroma bunga menguar dari dalamnya. Aroma itu menyebar ke setiap sudut ruang ganti penari utama.Â
Di luar, penonton yang didominasi para lelaki sudah mulai gaduh. Gendangpun ditabuh, menandakan pertunjukan tari harus segera dimulai. Bebunyian dari bonang, saron, dan seluruh piranti gamelan menyusul. Rancak dan harmonis.Â
Tirai disibak. Srikanti menapakkan kaki tanpa alas. Ia mulai menggerakkan tubuhnya yang malam ini dibalut kebaya hijau. Ki Demang Jagad menatap takjub ke depan. Senyum selalu terukir di bibirnya. Srikanti menari begitu gemulai. Seluruh tubuhnya menyatu dengan angin. Bergerak, meliuk, berputar. Srikanti seperti kerasukan.Â
Aroma bunga bercampur kemenyan makin menggiring dalam suasana yang lain. Semakin lama tarian Srikanti melenakan. Angin meniup lembut ubun-ubun para lelaki yang matanya melotot tak mau berkedip melihat Srikanti menari sepanjang malam. Begitulah keseharian mereka. Sepanjang hari mengadu ayam, menjelang malam tidur bagai orang pingsan, dan Jumat malam menonton hiburan meninggalkan wanitanya yang sibuk mengais uang.Â
***
"Srikanti, keluarlah!" Mirah datang bersama gerombolan perempuan, berteriak-teriak mengalahkan burung ciblek di atas pohon angsana. Cepol di kepalanya makin tinggi.
Srikanti baru saja tersadar. Kepalanya berdenyut tak karuan. Kebaya tari berwarna hijau masih melekat di badan. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Mungkin dia tidur. Mungkin juga pingsan. Kini dia harus menghadapi keriuhan memuakkan.Â