Kuliner Papua tidak melulu papeda dan ikan kuah kuning saja. Kuliner Papua lebih dari itu!
Kala mendengar nama Papua kita mungkin langsung teringat dengan bentang alamnya yang ekstrem; fauna dan floranya yang sangat beraneka ragam; serta melimpahnya sumber daya mineral yang ada di sana.Â
Sebagai pulau terbesar kedua di dunia, tak mengherankan jika Papua memiliki segalanya, termasuk keanekaragaman pangan nan melimpah ruah.
Di wilayah bagian Barat Papua terhampar luas Laut Arafuru dan Laut Banda yang kaya akan ikan-ikan pelagis berukuran raksasa, seperti tuna, kakap putih, cakalang, barakuda, dan lainnya.Â
Di wilayah bagian pedalaman Papua pun juga menyimpan kekayaan pangan, seperti buah merah, ubi manis, dan tentunya sagu Papua yang termahsyur itu.
Kondisi Masyarakat Papua
Karena bentang alamnya yang ekstrem dan luas, hal ini berdampak pada saling terpisah dan terpencarnya suku-suku di Papua ke dalam kelompok-kelompok kecil yang masih mempertahankan konsep hidup kuno, seperti dipimpin oleh kepala suku, menganut kepercayaan kuno, dan masih mengandalkan berburu serta meramu makanan.
Menurut Sudargo dkk (2022), Pulau Papua terbagi ke dalam empat zona ekologis, antara lain zona rawa, zona dataran tinggi, zona kaki gunung, dan zona dataran rendah. Perbedaan zona ekologis ini melahirkan 255 suku asli di tanah Papua, bersamaan juga dengan keberagaman pangan serta budaya makannya yang sangat beragam.
Zona rawa dihuni oleh suku-suku seperti, suku Asmat, suku Kamoro, suku Jagai, suku Marind-Anim, suku Simuri, suku Sebyar, suku Irarutu, suku Bauzi, dan suku Waropen. Mereka menggantung hidup dari menangkap ikan di wilayah pesisir, bertani, dan sebagian dari mereka masih berburu hewan-hewan di hutan rawa.
Zona dataran tinggi dihuni oleh suku Ngalum, suku Lani, suku Amungme, suku Hubula, suku Yali, suku Moni, suku Mee, dan suku Nduga. Mereka menggantungkan hidup dari bertani ubi dan keladi, beternak babi dan ayam, menokok sagu, serta beberapa dari mereka masih mengandalkan berburu dan meramu makanan (Rumansara, 2015).
Zona kaki gunung dihuni oleh suku-suku seperti, suku Muyu, suku Sentani, suku Nimboran, suku Meybrat, dan suku Attam. Pekerjaan mereka pun hampir serupa dengan suku yang hidup di wilayah dataran tinggi Papua. Namun, pekerjaan yang berbeda dapat ditemukan dari suku Sentani, di mana mereka mengandalkan kekayaan Danau Sentani untuk memperoleh ikan.
Adapun zona terakhir adalah zona dataran rendah atau wilayah pesisir. Tidak ditemukan keterangan mengenai suku-suku apa saja yang mendiami wilayah zona dataran rendah.Â
Namun yang pasti, suku-suku tersebut tinggal di wilayah Sorong, Nabire, Biak, hingga Yapen dan mereka mengandalkan sektor perikanan serta pertanian sebagai tumpuan ekonominya.
Kepercayaan dan Adat Istiadat Mengenai Makanan
Keberagaman suku yang ada di Papua, sebagai akibat dari kompleksitas bentang alam dan pembagian zona ekologis di dalamnya, kemudian juga memunculkan adanya persamaan maupun perbedaan sudut pandangan kepercayaan serta adat istiadat kesukuan dalam memahami makanan dan kebudayaan makan yang berkembang dalam komunitas mereka.
Misalnya, meski suku Amungme dan suku Kamoro berasal dari zona ekologis yang berbeda, namun kedua suku ini memiliki satu kepercayaan dan adat istiadat yang serupa, yakni mereka sama-sama merayakan ritual Kaware atau perayaan atas berdirinya rumah baru. Dalam ritual itu, para laki-laki dari masing-masing suku akan disuguhi cacing tambelo.
Cacing tambelo atau cacing bakau adalah jenis cacing yang memiliki nama ilmiah sebagai Bactronophorus thoracites. Cacing ini banyak hidup di wilayah hutan bakau dan tumbuh subur di batang-batang pohon bakau yang membusuk. Cacing jenis ini banyak ditemukan di sekitar wilayah Mimika dan dalam ritual Kaware, cacing ini disuguhkan sebagai ucapan terima kasih.
Dalam upacara kematian pun, kedua suku tersebut juga disuguhkan kembali dengan cacing bakau. Namun, khusus untuk acara kematian para tamu diwajibkan untuk menyantap cacing tersebut bersamaan dengan dua jenis hidangan lainnya, yakni siput dan kerang yang jumlahnya melimpah ruah di wilayah rawa-rawa.
Menurut Hardiansyah (2006), berbagai hidangan tersebut disajikan sebagai bentuk doa dan harapan untuk keluarga yang ditinggalkan. Cacing bakau menurut penuturannya memiliki makna akan kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi kenyataan. Adapun siput dan kerang melambangkan kehidupan baru yang akan segera lahir pasca ajal menjemput.
Ada juga suku Muyu yang memiliki kepercayaan dan adat dalam memahami makanan. Suku yang di wilayah kaki gunung ini sangat mengandalkan hutan sebagai lumbung pangan mereka. Atas itu, mereka mempercayai bahwa hutan memiliki penunggu atau roh yang melindungi hutan dan segala hal yang ada di dalamnya.
Menurut Schoorl dalam Laksono dan Wulandari (2021), suku Muyu mempercayai tiga kekuatan roh yang melindungi hutan. Pertama ada roh bernama roh Komot, yang merupakan penguasa segenap hewan-hewan liar. Roh kedua bernama roh Tanggitman, yang merupakan penguasa buah dan tumbuhan. Terakhir ada roh Kongki yang menguasai sagu.
Atas itu, dalam setiap kegiatan berburu dan meramu makanan, suku Muyu selalu menggunakan mantra-mantra khusus untuk memohon izin ke pada tiga roh tersebut ketika hendak memasuki hutan. Agar mereka bisa mendapatkan makanan yang berlimpah dari hutan dan dapat keluar dari hutan dengan selamat tanpa diganggu oleh roh-roh tersebut.
Profil Kuliner Masyarakat Papua
Bentang alam yang ekstrem dan luas, serta didukung oleh beragamnya kebudayaan dan kepercayaan setiap suku di Papua dalam memahami makanan, membuat profil kuliner masyarakat Papua menjadi ikut beranekaragam. Total ada sekitar 23 menu makanan yang berasal dari Papua, dengan sagu sebagai makanan pokoknya (Gardjito dkk, 2018).
Meski memiliki begitu banyak sumber karbohidrat, seperti ubi, keladi, labu, dan lainnya masyarakat Papua yang hidup di pendalaman hutan maupun yang hidup di wilayah pesisir ternyata justru lebih banyak mengkonsumsi sagu sebagai sumber karbohidrat utama mereka. Alasan ini bisa dipahami dari banyaknya varietas tanaman sagu di bumi Papua.Â
Menurut Danang (2021), ada sekitar 96 varietas tanaman sagu di Papua. Jumlah ini sekaligus menempatkan Papua sebagai wilayah di Indonesia yang paling banyak memiliki varietas tanaman sagu.Â
Sagu telah menjadi darah dan daging dalam lanskap gastronomi Papua, bahkan beberapa suku menganggap tanaman sagu sebagai salah satu tanaman suci mereka. Marga Mahuze misalnya, menghormati tanaman sagu sebagai lambang persaudaraan yang sejati.
Adapun bagi masyarakat suku Asmat, ulat sagu dipercaya sebagai hewan yang suci dan dihormati dalam kebudayaan kuliner mereka. Menurut mereka, ulat sagu itu berisi roh-roh leluhur yang telah tiada, yang kemudian hidup kembali dalam rupa yang lain, yakni ulat sagu. Karenanya, bagi suku Asmat ulat sagu selalu disajikan sebagai menu yang sangat istimewa.
Karena tanaman sagu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi kuliner masyarakat Papua sejak ribuan tahun, maka tidak mengherankan, jika masyarakat Papua akhirnya lebih cenderung memanfaatkan dan mengolah tanaman sagu beserta dengan turunan-turunan (ulat sagu) sebagai sumber karbohidrat dan protein.
Menu Khas Bumi Papua
Kita semua tentu tahu, kalau papeda dan ikan kuah kuning adalah makanan khas Papua. Tapi, apakah pembaca sudah pernah mendengar nama makanan seperti norohombi, eurimoo, sinole, aunu senebre, aunuve habre, dan udang selingkuh. Kalau belum pernah, berarti pembaca saat ini berada di artikel yang tepat!
Masyarakat Papua punya kudapan khas bernama norohombi, sinole, dan eurimoo. Kita mulai dari norohombi. Norohombi adalah sejenis kudapan kering yang terbuat dari tepung sagu, kelapa parut, dan daging bia atau sejenis kerang yang sudah dikeringkan. Proses membuat Norohombi terbilang cukup unik dan masih sangat tradisional.
Tepung sagu basah pertama dibuat lempengan di atas daun pisang. Kemudian dicampur dengan taburan kelapa parut dan daging bia. Setelah dicampur, lapisan adonan sebelumnya kemudian dilapisi kembali dengan campuran yang serupa. Setelah dibuat dua lapis, terakhir Norohombi kemudian ditutup dengan tepung sagu dan parutan kelapa, tanpa bia.
Lembaran daun pisang kemudian ditutup dan dibakar dengan cara menempelkan dua buah plat seng telah dibakar sebelumnya di dalam bara api. Masak kurang lebih selama tiga sampai lima menit, atau saat adonan Norohombi perlahan mulai mengeras. Setelah itu, Norohombi hangat yang bercita rasa gurih umami dari bia pun siap untuk disantap.
Selain itu, ada juga sinole, kudapan khas Papua yang berbentuk menyerupai kebab. Alih-alih berisi daging dan sayuran, sinole justru diisi dengan campuran gula merah dan kelapa parut. Cara membuat sinole pun agak cukup unik. Pertama, tepung sagu kering serta kelapa parut dicampur dan kemudian dimasak seperti memasak telur dadar.
Saat adonan perlahan-lahan mulai mengering, sinole kemudian diolesi dengan saus gula merah. Setelah mengering dengan sempurna menyerupai kulit kebab, sinole kemudian digulung seperti kebab dan siap disajika. Sinole paling pas disantap bersama teh atau kopi sembari melihat suasana alam Papua yang masih asri (Gardjito dkk, 2018).
Ada sinole ada juga eurimoo. Kudapan khas Papua yang satu ini juga wajib dicoba oleh pembaca. Kudapan yang satu ini mirip seperti kudapan khas Yogyakarta, yakni klepon. Namun, jika klepon terbuat dari tepung beras ketan, maka eurimoo terbuat dari campuran tepung sagu dan juga pisang kepok atau pisang ambon.
Eurimoo dibuat dengan cara mencampurkan tepung sagu dengan pisang kepok atau pisang ambon yang sudah dihancurkan. Campuran tersebut kemudian dibentuk seperti bola-bola kecil, mirip seperti panganan bola ubi kopong. Bola-bola tersebut kemudian direbus hingga mengapung dan kemudian digulingkan di atas campuran kelapa parut dan garam.
Setelah puas icip kudapan yang unik, sekarang kita bergeser ke hidangan utamanya. Masyarakat Papua punya makanan khas bernama aunu senebre, aunuve habre, dan udang selingkuh. Kita mulai terlebih dahulu dari aunu senebre. Aunu senebre adalah salah satu lauk-pauk yang diolah dengan cara dikukus (Gardjito dkk, 2018).
Hidang ini terbuat dari rebusan ikan teri dan daun talas. Setelah direbus, kedua bahan tersebut kemudian dicampurkan dengan parutan kelapa lalu dibungkus dengan pisang menyerupai hidangan pepes dan selanjutnya dikukus hingga matang. Aunu senebre paling cocok dimakan dengan nasi putih hangat dan sambal colo-colo khas Papua.Â
Ada aunu senebre ada juga aunuve habre. Aunuve habre adalah makanan yang sekilas hampir-hampir mirip dengan aunu senebre. Bedanya, kalau aunu senebre menggunakan ikan teri, maka aunuve habre menggunakan ikan cakalang. Daun talas juga tidak dicampur dengan daging ikan, tapi justru menjadi pembungkus saat ikan dikukus dan tidak menggunakan parutan kelapa.
Setelah puas mencicipi aunu senebre dan aunuve habre, pembaca juga wajib mencicipi udang selingkuh. Masyarakat Papua mempercayai, jika udang yang satu ini adalah hasil perkawinan campur atau perselingkuhan antara udang dengan kepiting. Padahal, udang yang satu ini merupakan jenis lobster air tawar bercapit besar.
Udang selingkuh adalah hewan endemik dari wilayah Sungai Baliem, sungai besar yang melintasi wilayah kota Wamena. Udang selingkuh memiliki tekstur yang berserat seperti lobster dan bercita rasa gurih umami. Udang selingkuh paling pas dimasak asam manis dan disantap bersama nasi putih hangat dan sambal tumbuk khas Wamena (Gardjito dkk, 2018).
Selain berbagai hidangan tadi, Papua tentunya masih memiliki begitu banyak kekayaan kuliner yang tak ternilai harganya. Nah, buat pembaca yang penasaran, yuk langsung aja rencanakan perjalanan liburan suatu hari nanti ke Papua. Jangan lupa ceritakan pengalaman menarik Kompasianers selama di Papua ya! Mari kita bercerita!
Daftar Pustaka:
Sudargo, T dkk. 2022. Budaya Makan dalam Perspektif Kesehatan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Gardjito, M dkk. 2018. Profil Struktur, Bumbu, dan Bahan dalam Kuliner Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Hardiansyah, H. 2006. "Persepsi Masyarakat Tentang Manfaat Budaya dan Kesehatan Mengonsumsi Tambelo, Siput dan Kerang di Mimika, Papua". Jurnal Gizi dan Pangan, 1(1), hal. 29-35.
Rumansara, E. 2015. "Memahami Kebudayaan Lokal Papua: Suatu Pendekatan Pembangunan yang Manusiawi di Tanah Papua". Jurnal Ekologi Birokrasi, 1(1), hal. 47-58.
Laksono dan Wulandari. 2021. "Pantangan Makanan pada Suku Muyu di Papua". Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(3), hal. 251-259.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H