Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Abdi Dalem Encik, Memanjakan Lidah Melawan Hegemoni Penjajah

19 Maret 2022   09:07 Diperbarui: 23 September 2022   23:02 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sekelompok abdi dalem sedang bertugas membawa hidangan untuk disantap oleh segenap anggota keluarga Sri Sultan | Kompas.id

Budaya makan roti dan istilah "makan enak-enak" di kalangan masyarakat Yogyakarta dimulai dari sekelompok kecil abdi dalem bernama Encik. 

Dalam sejarahnya Yogyakarta memiliki catatan penting mengenai adanya proses akulturasi dan asimilasi budaya yang begitu kental. Proses akulturasi dan asimilasi tersebut salah satunya banyak terjadi saat masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Yogyakarta. 

Banyak catatan sejarah menuliskan jika persentuhan antara budaya Eropa dengan Keraton pada masa-masa itu banyak melahirkan produk-produk budaya baru, salah satunya adalah kuliner.

Salah satu catatan sejarah kuliner dari Pigeaud dalam Wijanarko (2021), menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada abad ke-19 telah melakukan suatu langkah gastrodiplomasi dengan pemerintah Hindia Belanda, yakni dengan mengadakan pesta jamuan makan yang mengadopsi tata krama makan budaya Eropa. 

Namun, dalam perjalanannya proses untuk bisa mencapai langkah gastrodiplomasi itu menemui berbagai rintangan budaya.

Salah satu rintangan budaya tersebut adalah adanya ketidakcocokan selera lidah kaum Eropa atas berbagai hidangan yang disajikan oleh Keraton disetiap kesempatan gelaran pesta dansa atau jamuan makan besar. 

Hal ini kemudian menjadi suatu tantangan besar bagi Sri Sultan Hamengku Buwono VI untuk mencari solusi dalam mengatasi persoalan lidah dan selera makan para tamu Eropa-nya yang merasa dirinya adalah yang paling superior itu.

Solusi itu akhirnya berhasil ditemukan dari tangan dingin kelompok abdi dalem bernama abdi dalem Encik. 

Artikel kali ini akan membahas sejarah mengenai rekam jejak kelompok abdi dalem Encik yang berjasa atas berhasilnya program gastrodiplomasi Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yang di satu sisi juga berhasil menancapkan pengaruh dan legitimasi atas kekayaan alam dan budaya yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta selama masa pendudukan. 

Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai abdi dalam Encik dari segi sejarah dan jasa yang dihasilkan.

Ada baiknya jika penulis menjelaskan pada pembaca terlebih dahulu mengenai sejarah akan selera dan tata krama Eropa di dalam lingkungan Keraton dan adanya proses perlawanan terhadap penjajahan Belanda lewat kuliner yang secara khusus dapat dikaji peristiwanya melalui kacamata poskolonialisme secara lebih dalam.

Jamuan makan dan pesta besar (pista ageng) yang lekat dengan budaya serta tata krama Eropa di dalam sejarah Keraton bukan lah merupakan suatu hal baru. 

Sebab, budaya jamuan makan dan berpesta embrionya sudah hadir sejak era pemerintahan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) berkuasa, yakni di tahun 1755. Hal itu dapat ditemukan dari peristiwa perjanjian Jatisari (15 Februari 1755).

Perjanjian Jatisari sendiri adalah sebuah perjanjian yang membahas tentang adanya upaya untuk menciptakan perbedaan indentitas budaya dari dua entitas kerajaan Jawa terbesar saat itu yang terpecah, namun masih memiliki pola kebudayaan, tradisi, dan unggah-ungguh (tata krama) yang masih serupa. 

Pangeran Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III menyepakati perjanjian tersebut lengkap dengan etiket jamuan makan orang Eropa yang cukup totok. 

Berdiri sembari mengangkat gelas, bersulang, bertepuk tangan, berjabat tangan, dan berpelukan setelah menyepakati perjanjian adalah sebuah peristiwa sejarah yang menyiratkan bahwa kebudayaan Eropa dalam ritus kuliner Yogyakarta sudah berkembang dan berlaku sejak lama. 

Dalam perjalanannya, untuk dapat menciptakan suatu budaya kuliner yang mampu merekatkan hubungan antara Keraton dan Belanda salah satunya ditempuh melalui hibridisasi budaya.

Menurut Bhabha (2004), hibridisasi budaya atau hibriditas budaya adalah persilangan budaya yang terlihat secara intrinsik maupun eksintrik. 

Bentuk persilangan ini dapat ditemukan dari hubungan antara pihak yang dinilai lebih superior dengan pihak yang dinilai inferior, dalam konteks ini adalah Belanda sebagai penjajah dan Keraton sebagai yang terjajah. Hibriditas budaya menggambarkan adanya celah yang dapat diisi oleh pihak inferior untuk melakukan perlawanan.

Dengan adanya hibriditas ini, Bhabha (2004) berpendapat, alih-alih bangsa terjajah melawan secara langsung dan menolak identitas yang diberikan oleh penjajahnya, maka dengan hibriditas budaya bangsa terjajah dinilai akan dengan lebih mudah berdinamika dengan perubahan identitas yang terjadi.

Selama masih hadirnya kekuasaan budaya dominan dalam suatu tatanan masyarakat yang dibentuk dan dikonstruksi oleh penjajahnya (Bhabha dalam Epfras, 2012: 6).

Zwaart Zuur, salah satu menu makanan Kersanan Dalem yang mengalami proses hibridasi dan mimikri budaya | Dok. Pribadi/ Thomas Panji
Zwaart Zuur, salah satu menu makanan Kersanan Dalem yang mengalami proses hibridasi dan mimikri budaya | Dok. Pribadi/ Thomas Panji

Persilangan budaya ini menjelma di masyarakat ke dalam banyak bentuk kebudayaan, mulai dari bahasa, cara berpakaian, cara berpikir, karakter manusia, hingga menyasar pada urusan kuliner. 

Di dalam bentuk hibriditas inilah, bangsa terjajah menemukan celah dan strategi untuk melawan dominasi penjajahnya, dengan cara mengambil segala bentuk kebudayaan dari penjajah dan kemudian dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan adab setempat.

Dengan demikian, maka kaum terjajah dinilai akan jauh lebih mudah melakukan manuver budaya untuk melawan hegemoni penjajahan, dengan membebaskan diri dari segala bentuk binerisme yang dikonstruksi, seperti Barat dan Timur; penjajah dan terjajah; pandai dan pandir; dan lainnya. 

Untuk dapat mengoptimalisasi temuan akan celah yang memungkinkan hibridisasi itu muncul, maka diperlukan juga sebuah ide dan aksi mengenai mimikri budaya.

Prinsip dari mimikri budaya secara sederhana mirip seperti hibriditas budaya, yakni mengambil seluruh bentuk kebudayaan penjajah (superior) yang kemudian dimodifikasi lalu diadopsi. 

Meski terlihat sama, namun mimikri budaya menekankan adanya proses invensi atau penciptaan kebudayaan baru oleh yang terjajah (inferior). Mimikri budaya juga dipahami sebagai sebuah strategi untuk melawan hegemoni penjajah yang bersifat ambivalen.

Maksud ambivalen dalam pengertian ini adalah kaum yang terjajah secara tidak sadar memiliki kemampuan untuk melestarikan warisan budaya kolonial, namun di satu sisi juga mampu menghancurkan dominasi penjajahnya. 

Fenomena ini menggambarkan bahwa yang terjajah sangat tidak bergantung pada dominasi penjajahnya, atau dalam perspektif Bhabha, keadaan ambivalen ini dinyatakan sebagai "almost the same but not quite" (Bhabha, 2004: 123).

Untuk dapat menciptakan hibriditas dan mimikri budaya dalam jamuan makan antara Keraton dengan Belanda, maka Sri Sultan Hamengku Buwono VI di masa itu mencanangkan adanya visi untuk mencari juru masak yang dapat menginvensi suatu sajian Nusantara yang dapat diterima oleh kaum Eropa yang sering berkunjung ke kediaman Sri Sultan untuk menghadiri acara perjamuan makan malam, pesta dansa ataupun jamuan makan siang.

Selain karena adanya faktor sejarah yang kental mengenai tata krama kuliner Eropa dalam lingkungan Keraton, kebutuhan akan kuliner bernuansa Eropa di dalam lingkungan Keraton juga tidak terlepas dari adanya tiga masalah dasar, yakni (Moens dalam Wijanarko, 2021):

1. Hidangan yang disajikan kurang lengkap dan sering kali berkutat pada permasalahan selera lidah para tamu dan acap kali tidak sesuai ekspektasi.

2. Pergaulan dengan tamu-tamu Eropa yang seringkali terkendala bahasa, khususnya orang-orang Belanda (Eropa) yang tidak bisa berbahasa Melayu.

3. Perihal adab berpakaian yang seringkali membuat pusing para tamu yang akan mengundang dan khususnya tata cara tamu dalam hal mengambil hidangan (prasmanan).

Dari tiga masalah tersebut, khususnya masalah pertama, cikal bakal rencana Sri Sultan Hamengku Buwono VI untuk mencari orang yang berkompeten dalam menyajikan hidangan khas Eropa yang dapat memenuhi ekspektasi selera tamu Eropa.

Namun, masih dalam suasana alam kekayaan kuliner Nusantara. Sri Sultan Hamengkubowon VI memerintahkan Tuang Sekeng, kepala bidang kebudayaan di Sasanewu untuk mencari juru masak yang memahami masakan Eropa.

Ilustrasi dari keuken atau dapur yang banyak berkembang di Hindia Belanda sekitar abad ke-19 sampai 20 | @lengkong_sanggar_
Ilustrasi dari keuken atau dapur yang banyak berkembang di Hindia Belanda sekitar abad ke-19 sampai 20 | @lengkong_sanggar_

Pada akhirnya, Tuan Sekeng berhasil menemukan seorang juru masak yang memahami masakan Eropa, yang bernama Encik Purtin dari Hindia Belanda. 

Encik sendiri dapat dipahami sebagai orang Timur asing, atau merujuk pada mereka yang memiliki kewarganegaraan asing non-Eropa. Meskipun kata Encik lekat dengan konotasi Tionghoa, namun dalam konteks ini penggunaan gelar Tionghoa dibedakan dengan Encik itu sendiri.

Kata Tionghoa (Cina) dipakai secara terpisah untuk memanggil mereka yang memang berasal atau memiliki keturunan dari dataran Tiongkok. 

Dalam sejarahnya, Encik Purtin diangkat oleh Sri Sultan Hamengkubowono VI sebagai lurah dan mendapatkan tanah lenggah berupa sawah sebesar 5 jung dan mendapatkan bantuan serta kuasa untuk mengatur 20 orang abdi dalem yang membantunya di dapur (keuken) khusus untuk masakan Eropa (Wijanarko, 2021).

Selain mengatur dan menyajikan hidangan Eropa, abdi dalem Encik juga memiliki beberapa tugas penting lainnya, seperti merawat perlengkapan jamuan makan dan melakukan tambal sulam pada tempat duduk khusus Sultan. 

Pada tugasnya tadi, abdi dalem Encik dibantu oleh 20 orang abdi dalem Keparak Estri untuk menyiapkan semua jenis bahan makanan sayur mayur yang akan diolah dan dihidangkan dalam upacara perjamuan makan atau pesta besar.

Meskipun tidak disebutkan jenis hidangan apa saja yang dimasak oleh kelompok abdi dalem Encik untuk disajikan kepada tamu-tamu Belanda saat berkunjung ke Keraton.

Namun menurut Utami (2018), setidaknya ada beberapa men makanan Keraton yang mengalami bentuk-bentuk hibridasi dan mimikri budaya. Beberapa diantaranya merupakan men makanan yang terdaftar sebagai men makanan kesukaan kesukaan sultana tau sering disebut kersanan dalem. 

Menurut Gardjito (2010; 23), kersanan dalem terdiri dari dua kata, yakni kersanan (bahasa Jawa) yang berarti sangat disukai dan dalem memiliki arti sebagai sesuatu yang sangat di hormati, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, baik Yogyakarta dan Surakarta, yakni sang raja atau sultan itu sendiri. Sehingga, jika disimpulkan kersanan dalem adalah semua jenis hidangan yang sangat digemari oleh raja atau sultan.

Dalam konteks ini penulis menemukan beberapa hidangan kersanan dalem yang mengalami proses hibridasi dan mimikri budaya sebagai akibat dari banyaknya influensi Belanda yang masuk ke dalam lingkungan dan dapur Keraton.

Contohnya seperti bir jawi yang merupakan mimikri dari beer; salad husar yang merupakan mimikri dari huzarensla salad; bistik sapi yang merupakan mimikri dari dutch bifstuk; suwar suwir yang merupakan mimikri dari zwaart zuur; dan lainnya.

Dalam konteks ini memang tidak disebutkan siapakah kelompok-kelompok abdi dalem yang mampu menciptakan berbagai hidangan mimikri tersebut.

Selain kita hanya bisa membuat dugaan sementara pada kelompok abdi dalem Encik yang sedari awal kehadirannya di pawon Keraton mampu mengakomodir keinginan dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yang saat itu memiliki program dan visi gastrodiplomasi Keraton bagi pembesar Belanda.

Terlepas dari siapakah kelompok abdi dalem yang berhasil membuat berbagai hidangan mimikri tersebut, abdi dalem Encik dalam sejarah dapur dan kuliner mampu membawa Keraton pada strata sosial yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. 

Keadaan ini lantas mematahkan superioritas dan pemahaman Belanda itu sendiri soal kekayaan serta kemakmuran Keraton yang mampu menekan arogansi dan legitimasi cara pikir penguasa kolonial. 

Selain berhasil membuat berbagai terobosan tersebut, abdi dalem Encik juga menjadi salah satu kelompok yang menghidupkan geliat industri dan perdagangan kuliner di masa-masa selanjutnya, khususnya disepanjang jalan Malioboro. 

Menurut Wijanarko (2021), meski keberadaan kelompok abdi dalem ini sudah tidak ada, namun warisan akan menjamurnya toko roti, toko manisan, toko es krim, bar, dan hotel kolonial tidak terlepas dari tangan dingin abdi dalem Encik.

Hal ini mungkin terjadi karena adanya keberhasilan abdi dalem Encik yang mampu mengakomodir berbagai keinginan perut dan lidah dari pembesar Jawa maupun saudagar kaya. 

Dalam sejarahnya, kelompok abdi dalem ini memang piawai dalam menghidangkan berbagai sajian kuliner yang sesuai dengan ekspektasi. Kemampuan ini juga ditambah dengan keahlian mereka dalam dunia kuliner pastry dan dessert, yang memicu industri kuliner itu lahir di bumi Mataram.

Gaji yang terbilang kecil untuk diterima oleh abdi dalem Encik secara tidak langsung mendorong mereka untuk berjualan roti, di liar semua bentuk rutinitas Keraton yang mereka laksanakan. Menurut Wijanarko (2021), komoditi roti yang dijual oleh para Encik berubah menjadi menu makanan yang lazim dan bahkan mendorong lahirnya industri dan usaha serupa di kemudian hari, lewat dibukannya banyak toko Indo-Eropa disepanjang Jalan Malioboro. 

Meski pada akhrinya kelompok abdi dalem ini punah karena majunya perkembangan sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta, khususnya di permulaan tahun 1900-an yang juga mendorong lahirnya ketertarikan dari masyarakat untuk mempelajari budaya kuliner Eropa.

Tetapi kita tetap tidak dapat menafikan bahwa kelompok abdi dalem inilah yang sejatinya melahirkan berbagai ilmu dan perkembangan kuliner yang begitu kaya hingga sekarang.

Pada akhirnya kita bisa merefleksikan bahwa kuliner bahkan bisa menjadi kendaraan politik untuk berbagai hal, seperti melawan penjajahan. 

Abdi dalem Encik menjadi bukti bahwa kecerdasan dalam berbudaya dan kuliner mampu membawa harkat sebuah bangsa dapat menjadi lebih tinggi serta lebih terpandang derajat, di mana Keraton Yogyakarta menjadi saksi dari peristiwa yang akan membuat namanya terus harum sampai selamanya.

Daftar Pustaka:

Wijanarko, F. 2021. Bojakrama: Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta. Pohon Cahaya.

Utami, S. (2018). Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication, 8(2): 36-44. Universitas Pancasila

Bhabha, H. (2004). The Location of Culture. New York. Routledge.

Epfras, L. (2012). Signifikansi pemikiran Homi Bhabha. Extension Course Filsafat dan Budaya (EFC): 1-8. Universitas Kristen Duta Wacana.

Gardjito, M et al. (2010). Menu Favorit Para Raja. Yogyakarta. Kanisius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun