Ada baiknya jika penulis menjelaskan pada pembaca terlebih dahulu mengenai sejarah akan selera dan tata krama Eropa di dalam lingkungan Keraton dan adanya proses perlawanan terhadap penjajahan Belanda lewat kuliner yang secara khusus dapat dikaji peristiwanya melalui kacamata poskolonialisme secara lebih dalam.
Jamuan makan dan pesta besar (pista ageng) yang lekat dengan budaya serta tata krama Eropa di dalam sejarah Keraton bukan lah merupakan suatu hal baru.Â
Sebab, budaya jamuan makan dan berpesta embrionya sudah hadir sejak era pemerintahan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) berkuasa, yakni di tahun 1755. Hal itu dapat ditemukan dari peristiwa perjanjian Jatisari (15 Februari 1755).
Perjanjian Jatisari sendiri adalah sebuah perjanjian yang membahas tentang adanya upaya untuk menciptakan perbedaan indentitas budaya dari dua entitas kerajaan Jawa terbesar saat itu yang terpecah, namun masih memiliki pola kebudayaan, tradisi, dan unggah-ungguh (tata krama) yang masih serupa.Â
Pangeran Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III menyepakati perjanjian tersebut lengkap dengan etiket jamuan makan orang Eropa yang cukup totok.Â
Berdiri sembari mengangkat gelas, bersulang, bertepuk tangan, berjabat tangan, dan berpelukan setelah menyepakati perjanjian adalah sebuah peristiwa sejarah yang menyiratkan bahwa kebudayaan Eropa dalam ritus kuliner Yogyakarta sudah berkembang dan berlaku sejak lama.Â
Dalam perjalanannya, untuk dapat menciptakan suatu budaya kuliner yang mampu merekatkan hubungan antara Keraton dan Belanda salah satunya ditempuh melalui hibridisasi budaya.
Menurut Bhabha (2004), hibridisasi budaya atau hibriditas budaya adalah persilangan budaya yang terlihat secara intrinsik maupun eksintrik.Â
Bentuk persilangan ini dapat ditemukan dari hubungan antara pihak yang dinilai lebih superior dengan pihak yang dinilai inferior, dalam konteks ini adalah Belanda sebagai penjajah dan Keraton sebagai yang terjajah. Hibriditas budaya menggambarkan adanya celah yang dapat diisi oleh pihak inferior untuk melakukan perlawanan.
Dengan adanya hibriditas ini, Bhabha (2004) berpendapat, alih-alih bangsa terjajah melawan secara langsung dan menolak identitas yang diberikan oleh penjajahnya, maka dengan hibriditas budaya bangsa terjajah dinilai akan dengan lebih mudah berdinamika dengan perubahan identitas yang terjadi.
Selama masih hadirnya kekuasaan budaya dominan dalam suatu tatanan masyarakat yang dibentuk dan dikonstruksi oleh penjajahnya (Bhabha dalam Epfras, 2012: 6).