Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Politik Padi Keraton Yogyakarta

16 Februari 2022   08:00 Diperbarui: 18 Februari 2022   09:00 2996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upcara Grebeg Maulud | Tirto.id

Menguasai suatu wilayah tidak harus selalu melalui jalan konflik. Pangeran Mangkubumi membuktikan jika menanam padi pun bisa menguasai suatu wilayah. 

Semua orang Indonesia tentu setuju jika beras adalah makanan utama bagi kita semua. Rasanya, kedekatan orang Indonesia dengan beras sebagai suatu makanan pokok sudah mendarah daging secara turun temurun. 

Bagaimana tidak? Kita tentu sering mendengar berbagai istilah atau ungkapan tertentu, seperti 'belum dianggap makan jika belum makan nasi', 'nasi telah menjadi bubur', 'mencari sesuap nasi', atau 'ayo dihabiskan nasinya nanti Dwi Sri menangis', dan lainnya.

Munculnya berbagai ungkapan atau istilah-istilah tersebut di tengah kehidupan kuliner orang Indonesia, secara tersirat menggambarkan bahwa beras adalah makanan pokok yang tak terpisahkan. 

Banyak catatan sejarah menjelaskan jika beras sudah diperkenalkan ke bumi Nusantara sejak 2300 SM, tepatnya di Sulawesi yang kemudian dibawa dan ditanam di banyak daerah di Indonesia, terkhususnya di Pulau Jawa dan Sumatera (Gardjito et al, 2019).

Sebagai makanan pokok, beras juga tak luput dari persoalan politik praktis. Dinamika perpolitikan yang ditimbulkan oleh beras dapat kita temukan dalam banyak perjalanan sejarah, mulai dari era Majapahit, Sultan Agung, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Orde Lama, Orde Baru hingga di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pada artikel kali ini, penulis akan membahas sejarah politik beras dari perspektif Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pewaris trah Kesultanan Mataram Islam.

Menarik untuk diulas mengenai sejarah politik beras yang dimiliki oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagaimana tidak? 

Dalam sejarahnya kita telah melihat sendiri bahwa politik beras yang dijalankan pada saat itu berhasil menyelamatkan segenap warga Yogyakarta dari upaya perbudakan (romusha) saat zaman pendudukan Jepang. Namun, kali ini penulis tidak akan membahas soal romusha dan akan lebih berfokus pada sejarah politiknya.

Pasca perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, Sri Sultan Hamengkubowono I (Pangeran Mangkubumi) secara sah memperoleh wilayah Mataram (Yogyakarta saat ini), Kedu, dan Bagelen (Purworejo) sebagai bagian dari negara agung atau wilayah yang mengitari Kutangera (ibu kota negara) (Wijanarko, 2021). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun