Kedua wilayah pertanian tersebut sejatinya dihadirkan sebagai salah satu cara Pangeran Mangkubumi untuk menjaga ketersediaan pasokan beras, yang secara khusus diperuntukan hanya untuk lingkungan keraton. Upaya penjagaan terhadap pasokan beras ini juga dibarengi dengan adanya pembangunan infrastruktur bendungan.
Menurut Carey dalam Wijanarko (2021), saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubowono II, Keraton Yogyakarta saat itu memulai inisiasi pembangunan infrastruktur bendungan di wilayah Gesikanrejo, Bantul dengan tujuan untuk menjaga persediaan air baku bagi lahan pertanian. Berbagai catatan mengenai lahan pertanian yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi menandakan bahwa wilayah Yogyakarta sangat subur.
Penilaian ini semakin diperkuat, tatkala Pangeran Mangkubumi bersikukuh untuk mempertahankan wilayah Jawa Tengah bagian Selatan dalam suatu perundingan dengan Gubernur Nicholas Hartingh pada 22-23 September 1754 (Palupi, 2021).Â
Tanah yang berusaha dipertahankan ini pasalnya merupakan salah satu yang paling subur bagi pertanian beras dan komoditi pangan lainnya, salah satunya adalah kentang.
Wilayah di Jawa Tengah bagian Selatan yang dimaksud oleg Pangeran Mangkubumi dalam perundingannya dengan Nicholas Hartingh meliputi sejumlah daerah besar, seperti Banyumas, Pajang, Nusa Kambangan, dan Pelabuhan Cilacap.Â
Daerah-daerah yang berusaha dipertahankan dalam perundingan tersebut merupakan tanah kerajaan di mana sultan sebagai kepemilikan pribadi (sultan ground). Ada beberapa jenis tanah pertanian juga yang digarap. Â
Menurut Suhartono dalam Palupi (2021), tanah-tanah yang dimaksud mengacu pada tujuan penggunaan dan penggarapannya, yang terdiri dari bumi pamajengan yang menghasilkan uang; bumi pangrembe yang khusus diperuntukan untuk ditanami padi dan dinikmati hasilnya oleh keraton; bumi gladhag yang diperuntukan bagi keperluan transportasi; dan bumi lungguh yang diperuntukan bagi sentana dan narapraja sebagai tanah gaji.
Bumi lungguh dalam sejarahnya juga diperuntukan oleh sultan sebagai salah satu lahan yang di satu sisi juga diharapkan mampu menghasilkan sumber pangan tambahan bagi lingkungan keraton.Â
Menurut Houben dalam Palupi (2021), pengelola tanah-tanah ini mewajibkan para pemegangnya untuk menyerahkan sekitar dua perlima dari hasil pertanian tersebut dan wajib menyerahkan sejumlah pekerja-pekerja terampil kepada keraton.
Dalam perkembangannya, menurut Carey dalam Palupi (2021) penyerahan hasil bumi ini merupakan bagian lain dari politik keraton untuk melegitimasi kekuasaan atas melimpahnya sumber pangan keraton yang tidak terbatas jumlahnya itu.Â
Dalam situasi sekarang, legitmasi politik itu masih dilanjutkan lewat dua perayaan besar, yakni Grebeg Maulud dan Grebeg Syawal, di mana acara ini juga mewajibkan tiap bupati untuk membawa makanan khas daerahnya.