Beragamnya jenis tanah yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta beserta dengan hasil buminya merupakan sebuah upaya kerja keras dari Pangeran Mangkubumi untuk memperkuat statuta politik pangan bagi kerajaan yang baru saja lahir itu.Â
Dengan adanya jenis pengelolaan tanah yang beragam itu, Pangeran Mangkubumi menginisasi rakyatnya untuk membuka lahan pertanian disekitar wilayah keraton bersamaan dengan masa pembangunan awal.
Pengelolaan berbagai tanah pertanian ini di satu sisi juga dibarengi dengan pembangunan infrastruktur bendungan dan saluran irigasi untuk penyediaan air baku.
Melimpahnya sumber air bagi kebutuhan pertanian secara tidak langsung juga berdampak pada legitimasi Keraton Yogyakarta dalam hal sumber daya air. Dengan adanya kondisi ini, inisiatif dalam pembangunan infrastukrtur berupa pesanggrahan (tempat istirahat) akhirnya mulai digencarkan.
Pembangunan pesanggrahan mulai banyak dikerjakan saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubowono II. Selain banyak diketahui sebagai tempat beristirahat atau menyepi (Lombard, 2019), pesanggrahan juga berfungsi sebagai infrastruktur penanda kekuasaan atas sebuah wilayah, seperti lahan pertanian, sumber air, dan lainnya. Maka dari itu, menurut Lombard (2019) tidak mengherankan jika pesanggrahan juga difungsikan sebagai benteng pertahanan.
Fungsi benteng pertahanan dalam pesanggrahan diperlukan untuk menjaga kedaulatan wilayah penting, yang dalam konteks ini merupakan lahan pertanian dan sumber daya air.Â
Pesanggrahan di satu sisi juga berfungsi sebagai pos penjagaan awal atas sebuah wilayah di luar jangkauan benteng istana. Maka, tidak mengherankan jika Yogyakarta pada akhirnya punya banyak pesanggrahan senada dengan luasnya lahan pertanian dan sumber air yang dimiliki.
Dengan luasnya lahan pertanian, melimpahnya sumber air, dan hadirnya berbagai pesanggrahan yang dibangun secara berdekat dengan berbagai aset-aset penting tersebut, Keraton Yogyakarta sampai harus mengangkat seorang mantri juru sawah, yang ditugaskan secara khusus untuk mengelola dan mengawasi saluran irigasi persawahan yang ada, sekaligus juga menjadi pengawas serta pengurus berbagai pesanggrahan yang dimiliki oleh keraton.
Kepemilikan atas lahan tani dan sumber air yang luar biasa itu tidak terlepas dari inisiatif Pangeran Mangkubumi dengan mendorong segenap rakyat Yogyakarta untuk melakukan 'penjajahan' terhadap berbagai lahan-lahan yang sebelumnya hancur lebur karena perang Giyanti.Â
Menurut Jonge dan Deventer dalam Palupi (2021), lahan-lahan yang hancur dan kemudian tak bertuan pasca perang itu, akhirnya diperbaiki dan digarap sebagai lahan pertanian.