Pada era awal industri kretek, kebanyakan perusahaan dan pabrik beroperasi di wilayah kota Kudus. Kota Kudus menjadi sentra karena satu keuntungan, yakni sudah tersedianya para pengelinting kretek dari kota Kudus sendiri. Karenna permintaan konsumen semakin meningkat, maka perusahaan pun akhirnya juga memerlukan tenaga kerja dari desa-desa yang berada disekitar wilayah kota Kudus, seperti distrik Kudus; Tenggeles; dan Cendono, untuk kerja di kota Kudus.
Namun, seiring berjalannya waktu, desa-desa yang tadinya sering memasok tenaga kerja sebagai pengelinting kretek pada akhirnya tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan oleh perusahaan. Perusahaan pun dilanda kegundahan, karena untuk membawa tenaga kerja dari desa-desa yang jauh tentu memerlukan biaya transportasi yang tidak sedikit. Lahan untuk membuka tempat kerja baru selalu dirasa kurang, padahal sudah dibesarkan beberapa kali.
Untuk melaksanakannya, para pengusaha rokok kretek memerlukan bantuan dari orang-orang yang pada waktu itu sering dipanggil sebagai abon. Abon (dalam bahasa Belanda: abonne) adalah bahasa Belanda yang berarti "langganan". Disebut langganan karena tenaga dan jasa mereka sangat sering dipakai oleh para pengusaha tembakau untuk membawa bahan baku pembuatan rokok kretek untuk kemudian diproduksi di desa oleh tenaga kerja dari rumah tangga.
Kalau di zaman sekarang, mereka bertugas layaknya agen atau seorang distibutor. Tugasnya pun terbilang sangat mudah, mereka hanya perlu membawa berbagai bahan baku pembuatan rokok kretek untuk diproduksi di desa. Setelah rokok pesanan perusahaan semuanya telah jadi mereka akan kembali ke kota untuk membawa produk rokok kepada pengusaha dan kemudian mendapatkan upah yang nantinya juga akan dibagikan ke setiap tenaga kerja lainnya.
Dengan strategi seperti ini, para pengusaha rokok akhirnya dapat memenuhi kebutuhan konsumennya yang terus bertambah banyak; dapat menstabilkan harga produk; menghemat kas perusahaan; dan dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi masyarakat. Dengan strategi ini pula, Kudus semakin maju akan industri rokok kreteknya. Namun sayangnya, kejayaan Kudus sebagai kota kretek justru menemui titik paling rendahnya pada tahun 1930.
Pada tahun 1930, Amerika Serikat dihantam oleh depresi besar atau great depression, yang dampak terasa hingga seluruh dunia tak terkecuali Hindia Belanda pada masa itu. Karena depresi ekonomi, banyak perusahaan tembakau tutup dan menyatakan pailit pada pengadilan niaga. Faktor yang memicu tutup dan pailitnya banyak perusahaan dan pabrik rokok kretek pada masa itu adalah naiknya harga cengkeh global yang sangat mencekik para produsen rokok.
Menurut Onghokham dan Budimana dalam Hikayat Kretek (2016), komoditas cengkeh pada saat itu masih banyak diimpor dari Zanzibar dan Madagaskar. Saat Zanzibar dan Madagaskar mengalami kegagalan panen cengkeh dan ditambah dengan depresi ekonomi yang membuat biaya perjalanan dan distribusi meningkat, maka harga cengkeh yang tadi ada dikisaran 75 gulden/pikul, naik menjadi 160 gulden/pikul. Hal ini tentu sangat mengacam keberlangsungan industri.
Namun, masalah dari redupnya Kudus sebagai kota kretek ternyata tidak hanya datang dari permasalahan depresi ekonomi dan gagal panen cengkeh. Saat itu, kompetitor Kudus dalam hal industri rokok kretek ada di wilayah bagian Timur Pulau Jawa, seperti Biltar; Tulungagung dan Kediri. Ada tiga alasan yang membuat mengapa ndustri rokok kretek di bagian Jawa Timur lebih tahan terhadap depresi ekonomi dan gagal panen cengkeh dari pada wilayah Kudus:
1. Ongkos kirim barang lebih murah dari pada yang ditanggung oleh pengusaha tembakau di Kudus.
2. Adanya kemudahan bagi setiap pengusaha untuk melakukan pengawasan dan kotnrol terhadap pekerjaan para pegawai.