Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kudus Kota Kretek, dari Obat hingga Depresi Ekonomi

5 Mei 2021   08:00 Diperbarui: 18 Maret 2022   17:08 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa rokok terbaik selalu berasal dari Kudus? Dan bagaimana awal sejarahnya?

Sebagai orang Indonesia yang sangat gemar sekali merokok, tentu kita semua setuju bahwa kualitas rokok kretek terbaik Indonesia selalu berasal dari sebuah kota kecil di bagian pantai Utara Pulau Jawa bernama Kudus.

Kudus sejak masa kolonial Belanda memang sudah menjadi sentra industri rokok paling terkemuka di bumi Nusantara. Sejarah panjang persentuhan antara Nusantara dengan harumnya rokok kretek terekam jelas pada setiap pabrik rokok yang berdiri di kota Kudus.

Tentu ada banyak sekali cerita-cerita menarik yang bisa diulas, ketika kita membicarakan eksistensi kota Kudus dan berbagai pabrik rokok legendaris yang berdiri di mana-mana.

Namun, banyak juga dari kita yang kemudian mungkin bertanya-tanya, mengapa Kudus pada akhirnya dapat menjadi satu sentra industri rokok paling terkemuka Indonesia hingga masa modern seperti saat ini? Tentu ada sejarah panjang yang bisa ditelusuri untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Dalam artikel kali ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali bagaimana sejarahnya Kudus dapat menjadi salah satu kota sentra industri rokok paling terkemuka di negara ini. Ada berbagai sumber yang dapat ditelusuri untuk mengetahui kisahnya.

Namun, kebanyakan sejarah yang menggaris bawahi Kudus sebagai "Kota Kretek" pada awalnya lahir dari suatu kegelisahan akan penyakit pernafasan yang dialami oleh seorang Haji Djamhari.

Rokok cap Bal Tiga, salah satu merek rokok paling terkemuka dari Kudus pada masanya milik Mas Nitisemito | kemendikbud.go.id
Rokok cap Bal Tiga, salah satu merek rokok paling terkemuka dari Kudus pada masanya milik Mas Nitisemito | kemendikbud.go.id
Menurut Budiman dan Onghokham dalam buku Hikayat Kretek (2016), Haji Djamhari merupakan salah satu pelopor dan pelaku yang mempopulerkan rokok kretek di kalangan masyarakat Kudus serta sebagai pelopor lahirnya industri kretek masa awal, yang ukurannya masih berbentuk industri berskala rumahan.

Pada awalnya, Haji Djamhari mulai mempopulerkan rokok kretek bukan sebagai saran hiburan, persis seperti apa yang kita tanamkan dari menghisap rokok di era sekarang.

Pada awalnya, rokok kretek yang diproduksi oleh Haji Djamhari bertujuan untuk menyembuhkan penyakit pernapasannya. Sejak dahulu Haji Djamhari telah divonis memiliki suatu penyakit pernasapan (tidak disebutkan namanya).

Saat itu, obat yang digunakan untuk menyembuhkannya kebanyakan menggunakan produk-produk turunan yang bersal dari rempah cengkeh, seperti cengkeh mentah; minyak cengkeh; air seduhan cengkeh; hingga rokok kretek itu sendiri.

Awalnya, Haji Djamhari menggunakan minyak cengkeh untuk diurapi di bagian dadanya yang sesak. Berkat minyak cengkeh, perlahan keadaannya membaik meski dirinya belum sepenuhnya sembuh.

Karena khasiat yang luar biasa menurutnya, Haji Djamhari kemudian melakukan eksperimen untuk lebih sering menggunakan cengkeh sebagai bahan baku pengobatan sakit sesak napasnya. Setelah minyak cengkeh, Haji Djamhari kemudian mencoba memakan cengkeh kering.

Setelah memakan cengkeh kering (kadang juga diseduh dengan air hangat) dirinya merasa lebih bugar dan penyakit sesak napasnya berangsur-angsur membaik. Atas manfaat yang sangat luar biasa dari cengkeh, Haji Djamhari kemudian selalu berinisiatif untuk melakukan eksperimen lain.

Haji Djamhari kebetulan adalah seorang perokok. Dirinya lalu berinisiatif mencampurkan cengkeh yang sudah dirajang halus ke dalam ranjangan daun tembakau yang akan dijadikan rokok.

Dengan rokok cengkeh, dirinya merasa jauh lebih baik, dan luar biasanya penyakit dadanya berangsur-angsur sembuh. Menurut Onghokham dan Budiman dalam buku Hikayat Kretek (2016), rokok cengkeh yang dihisap membuat asapnya bisa masuk secara leluasa ke dalam paru-paru Haji Djamhari yang sakit.

Hal inilah yang kemudian membuat mengapa dirinya dapat sembuh dari penyakit sesak napas. Keberhasilan ini kemudian tersebar di mana-dimana.

Perlahan, kabar mengenai rokok hasil racikan Haji Djamhari beserta dengan khasiatnya yang "ajaib" mulai terdengar di setiap telinga dan diobrolan masyarakat Kudus.

Atas rasa penasaran dan antusiasme yang sangat besar dari masyarakat, perlahan ada begitu banyak permintaan rokok yang datang padanya. Karena kenikmatan rokok racikannya, Haji Jamhari sampai harus membuat suatu industri rumahan dengan beberapa karyawan untuk memenuhi banjir pesanan rokok yang datang.

Keberhasilan atas rokok racikan Haji Djamhari inilah yang pada akhirnya memicu suatu ransangan serupa pada masyarakat Kudus untuk mengikuti jejaknya memulai usaha rokok.

Rokok yang awalnya bertujuan untuk menyembuhkan penyakit sesak napas seorang Haji Djamhari, perlahan bergeser fungsinya ke arah sarana hiburan, yang di mana semua orang pada akhirnya sangat jatuh cinta dan sangat menggantungkan diri pada kenikmatan rasa dan aromanya yang menenangkan.

Seorang pria tua (mbah, dalam bahasa Jawa) sedang menghisap sebatang rokok | bolehmerokok.com
Seorang pria tua (mbah, dalam bahasa Jawa) sedang menghisap sebatang rokok | bolehmerokok.com
Setelah semakin banyak orang yang mengikuti jejak Haji Djamhari untuk memulai usaha rokok, masyarakat Kudus pun juga ikut mengubah nama produk rokok yang mereka buat. Pada masa awal, rokok racikan Haji Djamhari dikenal sebagai rokok cengkeh.

Namun, setelah beberapa waktu masyarakat Kudus menyebutnya sebagai rokok kretek. Nama ini diambil dari suara tembakau dan cengkeh yang terbakar dan menghasilkan bunyi kretek-kretek yang khas.

Dari sini, akhirnya nama rokok kretek semakin dikenal oleh masyarakat luas, baik dari manfaat yang bisa didapatkan maupun dari cita rasa serta aroma khasnya yang sulit ditolak.

Perlahan-lahan, permintaan masyarakat terhadap rokok kretek semakin memuncak, terlebih setelah akhirnya rokok kretek berhasil diekspor ke luar Pulau Jawa. Omzet perusahaan naik dan sudah barang tentu jika persaingan dalam bisnis industri rokok juga perlahan-lahan semakin memanas di kota Kudus.

Pada awalnya, seluruh perusahaan kretek di kota Kudus berada di bawah kendali tangan kaum pribumi. Namun, tak beberapa lama berselang, masyarakat dari etnis Tionghoa pun akhirnya masuk dan semakin memeriahkan persaingan bisnis dan industri. Keterlibatan etnis Tionghoa dalam industri rokok pada dasarnya dilatarbelakangi oleh sejumlah kisah sukses dari pribumi yang berhasil mendulang kekayaan yang sangat besar dari bisnis dan industri rokok kretek.

Namun, alih-alih diterima oleh kaum pribumi, kehadiran etnis Tionghoa dalam pusaran bisnis dan industri kretek pun akhirnya menjadi biang keladi dari meletusnya suatu kejadian berdarah yang pecah pada tanggal 31 Oktober 1918.

Kerusuhan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan sejumlah rumah mewah serta pabrik rokok miliki Tionghoa habis diamuk masa dari golongan pribumi. Akhirnya, banyak pengusaha pribumi yang kemudian ditangkap dan diadili atas aksinya.

Dari peristiwa tersebut, akhirnya kehadiran dan legitimasi kaum pribumi dalam pusaran bisnis dan industri rokok kretek mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat dan konsumen, terlebih setelah kerusuhan di tahun tersebut meletus dan memakan korban.

Pada akhirnya, etnis Tionghoa memenangkan persaingan dan mereka semua berhasil memperkokoh posisnya dalam industri rokok kretek yang ditandai dengan pulihnya perekonomian Kudus dalam waktu yang singkat.

Hanya dalam waktu lima tahun, industri rokok kretek Kudus kembali menunjukkan taringnya di bawah pengaruh etnis Tionghoa. Saking majunya industri rokok kretek selepas kerusuhan berdarah, pada tahun 1924 menurut seorang peneliti kolonial bernama Van Der Reijden, industri rokok kretek bisa dibagi ke dalam tiga golongan, yakni industri besar; menengah dan kecil. Disebut industri besar jika jumlah produksinya telah mencapai lebih dari 50 juta batang/tahun.

Disebut industri menengah jika jumlah produksinya telah mencapai 10-50 juta batang/tahun. Yang terakhir, disebut sebagai industri kecil jika produksinya berada di bawah angka 10 juta batang/tahun. Uniknya, ketiga golongan industri ini bisa ditemukan dihampir semua kalangan pengusaha pribumi maupun Tionghoa. Memasuki tahun 1928, industri rokok kretek semakin bertambah besar, setelah permintaan dari konsumen juga semakin meningkat pesat.

Namun, alih-alih disambut gembira oleh para pengusaha, keadaan ini justru membuat mereka semakin pesimis. Pasalnya, pada saat itu hampir seluruh perusahaan rokok sedang berjibaku untuk memenuhi kurangnya tenaga kerja dan lahan untuk membuka tempat kerja baru, yang selalu dirasa kurang setiap tahun oleh para pengusaha, padahal sudah dibesarkan sampai beberapa kali. Kurangnya tenaga kerja didasarkan atas kondisi geografi dan biaya transportasi yang mahal.

Pada era awal industri kretek, kebanyakan perusahaan dan pabrik beroperasi di wilayah kota Kudus. Kota Kudus menjadi sentra karena satu keuntungan, yakni sudah tersedianya para pengelinting kretek dari kota Kudus sendiri. Karenna permintaan konsumen semakin meningkat, maka perusahaan pun akhirnya juga memerlukan tenaga kerja dari desa-desa yang berada disekitar wilayah kota Kudus, seperti distrik Kudus; Tenggeles; dan Cendono, untuk kerja di kota Kudus.

Namun, seiring berjalannya waktu, desa-desa yang tadinya sering memasok tenaga kerja sebagai pengelinting kretek pada akhirnya tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan oleh perusahaan. Perusahaan pun dilanda kegundahan, karena untuk membawa tenaga kerja dari desa-desa yang jauh tentu memerlukan biaya transportasi yang tidak sedikit. Lahan untuk membuka tempat kerja baru selalu dirasa kurang, padahal sudah dibesarkan beberapa kali.

Buruh pabrik rokok sedang memproduksi rokok kretek | sindonews.com
Buruh pabrik rokok sedang memproduksi rokok kretek | sindonews.com
Atas permasalahan tenaga kerja; kondisi geografi; biaya operasional; transportasi; dan masalah tata ruang, akhirnya para pengusaha mencari alternalitf tenaga kerja dengan memanfaatkan tenaga kerja dari rumah tangga. Cara ini akhirnya dipakai karena dinilai lebih efektif untuk menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, sekalipun berada di tempat yang sangat jauh dan bisa menghemat kas perusahaan untuk tidak memperluas tempat kerja yang selalu dinilai terbatas dan kurang.

Untuk melaksanakannya, para pengusaha rokok kretek memerlukan bantuan dari orang-orang yang pada waktu itu sering dipanggil sebagai abon. Abon (dalam bahasa Belanda: abonne) adalah bahasa Belanda yang berarti "langganan". Disebut langganan karena tenaga dan jasa mereka sangat sering dipakai oleh para pengusaha tembakau untuk membawa bahan baku pembuatan rokok kretek untuk kemudian diproduksi di desa oleh tenaga kerja dari rumah tangga.

Kalau di zaman sekarang, mereka bertugas layaknya agen atau seorang distibutor. Tugasnya pun terbilang sangat mudah, mereka hanya perlu membawa berbagai bahan baku pembuatan rokok kretek untuk diproduksi di desa. Setelah rokok pesanan perusahaan semuanya telah jadi mereka akan kembali ke kota untuk membawa produk rokok kepada pengusaha dan kemudian mendapatkan upah yang nantinya juga akan dibagikan ke setiap tenaga kerja lainnya.

Dengan strategi seperti ini, para pengusaha rokok akhirnya dapat memenuhi kebutuhan konsumennya yang terus bertambah banyak; dapat menstabilkan harga produk; menghemat kas perusahaan; dan dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi masyarakat. Dengan strategi ini pula, Kudus semakin maju akan industri rokok kreteknya. Namun sayangnya, kejayaan Kudus sebagai kota kretek justru menemui titik paling rendahnya pada tahun 1930.

Pada tahun 1930, Amerika Serikat dihantam oleh depresi besar atau great depression, yang dampak terasa hingga seluruh dunia tak terkecuali Hindia Belanda pada masa itu. Karena depresi ekonomi, banyak perusahaan tembakau tutup dan menyatakan pailit pada pengadilan niaga. Faktor yang memicu tutup dan pailitnya banyak perusahaan dan pabrik rokok kretek pada masa itu adalah naiknya harga cengkeh global yang sangat mencekik para produsen rokok.

Menurut Onghokham dan Budimana dalam Hikayat Kretek (2016), komoditas cengkeh pada saat itu masih banyak diimpor dari Zanzibar dan Madagaskar. Saat Zanzibar dan Madagaskar mengalami kegagalan panen cengkeh dan ditambah dengan depresi ekonomi yang membuat biaya perjalanan dan distribusi meningkat, maka harga cengkeh yang tadi ada dikisaran 75 gulden/pikul, naik menjadi 160 gulden/pikul. Hal ini tentu sangat mengacam keberlangsungan industri.

Namun, masalah dari redupnya Kudus sebagai kota kretek ternyata tidak hanya datang dari permasalahan depresi ekonomi dan gagal panen cengkeh. Saat itu, kompetitor Kudus dalam hal industri rokok kretek ada di wilayah bagian Timur Pulau Jawa, seperti Biltar; Tulungagung dan Kediri. Ada tiga alasan yang membuat mengapa ndustri rokok kretek di bagian Jawa Timur lebih tahan terhadap depresi ekonomi dan gagal panen cengkeh dari pada wilayah Kudus:

1. Ongkos kirim barang lebih murah dari pada yang ditanggung oleh pengusaha tembakau di Kudus.

2. Adanya kemudahan bagi setiap pengusaha untuk melakukan pengawasan dan kotnrol terhadap pekerjaan para pegawai.

3. Upah pekerja dan harga bahan baku yang sangat murah.

4. Kurang tajamnya persaingan, karena hampir semua pengusaha rokok kretek merupakan keturunan dari etnis Tionghoa.

Dengan keadaan seperti ini, industri rokok kretek Kudus pada saat itu mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, industri rokok kretek di Kudus kembali menemukan jati dirinya saat memasuki tahun 1932. Hal ditandai dengan munculnya berbagai perusahaan dan pabrik rokok baru di kota Kudus. Dengan begitu, Kudus kembali mendapatkan marwah sebagai kota Kretek terkemuka di Indonesia hingga hari ini.

Akhirnya kita bisa menyimpulkan, bahwa ada sejarah panjang yang membuat Kudus dapat menjadi sebuah sentra industri rokok terkemuka hingga hari ini. Zaman memang terus berganti, tapi perjalanan sejarah yang kental akan persaingan, inovasi dan tradisi bisnis turun temurun yang menjelma ke dalam sebatang rokok kretek adalah sesuatu yang selalu membuat Kudus tidak akan pernah kehilangan marwah dan derajatnya. Jadi, apakah kita siap untuk terus melestarikannya?

Daftar Pustaka:

Budiman; Onghokham. 2016. Hikayat Kretek. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun