Pemberian hadiah itu pada dasarnya diberikan atas jasa dari Ki Ageng Pemanahan yang telah berhasil mengalahkan musuh dari Kerajaan Pajang, yakni Arya Penangsang.
Atas pemberian hadiah berupa Alas Mentaok tersebut, kemudian Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati bersama dengan para pengikutnya mulai untuk membangun kerajaan baru dan kelak diberi nama Kerajaan Mataram Islam.
Kabarnya, nama dari Mataram sendiri diambil dari nama menatok, pohon yang menjadi flora dominan di hutan tersebut. Kata menatok ini kemudian digabungkan dengan kata harum yang kemudian dikenal sebagai menatok arum atau menatok yang harum. Kemudian nama tersebut berubah menjadi Mentaram dan kemudian berubah lagi menjadi Mataram sampai sekarang.
“Watu Gilang itu dipakai oleh Panembahan Senopati sebagai singgasana raja karena posisinya lebih tinggi dari tanah supaya para kawulanya bisa sujud dan mengabdi kepada sang raja,” tutur Pajarno saat ditemui Selasa (21/1/2020).
Watu Gilang pada dasarnya mengandung sebuah arti yang cukup filosofis, yang kental dan lekat dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Pajarno menjelaskan bahwa Watu Gilang itu terdiri dari dua arti kata. Yang pertama adalah Watu yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai batu.
Sedangkan, kata Gilang sendiri menurut penjelasan Pajarno diambil dari kata prayogi atau prayoga. Kata prayogi atau prayoga dalam bahasa Jawa memiliki arti sebagai tindakan “berdoa” atau dilain hal dapat dimengerti sebagai “kebenaran yang pertama”. Pajarno kemudian menjelaskan apa maksud dari dua gabungan kata ini yang kemudian membentuk nama bagi Watu Gilang.
Menurut penjelasan Pajarno, Watu Gilang pada dasarnya diperuntukan sebagai tempat untuk orang bersemedi dan berdoa demi mencari serta mendapatkan sebuah ilham.
Arti dari kata “Kebenaran yang Pertama” inilah yang konon membuat mengapa Watu Gilang itu memiliki keskaralan, bahwa tidak boleh sembarangan orang dan orang yang hanya digariskan saja yang berhak untuk duduk diatasnya, yang dalam konteks ini adalah Panembahan Senopati raja pertama Mataram Islam.
Pajarno kemudian juga menceritakan bahwa Kanjeng Panembahan Senopati sering melakukan semedi untuk mendapatkan ilham dan petunjuk Tuhan dalam mengatur kerajaan. Hal inilah yang kemudian membuat mengapa Watu Gilang menjadi begitu sakral.
“Kalau meditasi atau semedi itu biasanya dalam kepercayaan Jawa itu dikenal sebagai raga sukma atau melepas jiwa dari raga, jadi seolah-olah melepas jiwa dan bertemu dengan Tuhan,” tutur Pajarno.