Watu Gilang dan Kematian Ki Ageng Mangir
Nilai kesakralan yang dimiliki oleh Watu Gilang sendiri tidak hanya berhenti diseputaran nama dan sejarah akan fungsinya saja. Watu Gilang secara sejarah menurut penjelasan Pajarno juga pernah berfungsi sebagai alat untuk menghabisi nyawa dari musuh Kanjeng Panembahan Senopati, yakni Ki Ageng Mangir.
Bukti fisik sejarah tersebut dapat kita temukan pada permukaan Watu Gilang yang berbentuk seperti cekung kecil di bagian ujung depan kanan Watu Gilang. Kisah mengenai permusuhan ini dimulai dari keengganan Ki Ageng Mangir untuk tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam.
Mangir sendiri merupakan sebuah wilayah yang saat ini berlokasi di daerah Kabupaten Bantul. Ki Ageng Mangir pada awalnya adalah seorang tumenggung atau seorang penguasa daerah (setara seperti kecamatan atau kabupaten).
Awalnya Ki Ageng Mangir tidak mengetahui bahwa dirinya mendirikan daerah kekuasaan di dalam lingkup Kerajaan Mataram Islam. Menurut penjelasan Pajarno, Ki Ageng Mangir saat itu menganggap bahwa daerah itu adalah tanah tak bertuan yang layak ditempati oleh siapapun. Ki Ageng Mangir disatu sisi juga dikenal sebagai orang sakti karena memiliki pusaka berupa mata tombak yang bernama Kiai Baru Klinting.
“Konon katanya pusaka ini bisa menghancurkan siapa saja, dengan cara tombak di arahkan pada suatu target. Alhasil nanti targetnya pasti akan kena (tombak),” tutur Pajarno.
Singkat cerita, Panembahan Senopati tidak ingin Mangir menjadi kerajaan baru didalam daerah kekuasaannya. Kemudian untuk bisa mengalahkan dan mengambil pusakanya, maka Panembahan Senopati memerintahkan anak perempuannya yang paling tua, yakni Putri Pembayun untuk membawa Ki Ageng Mangir masuk ke istana Kotagede tanpa membawa Kiai Baru Klinting.
Putri Pembayun melaksanakan misi tersebut dengan menyamar menjadi seorang pengamen di daerah Mangir. Ki Ageng Mangir segera mengetahui hal tersebut dan tak lama kemudian terpincut dengan kecantikan dari Putri Pembayun.
Singkat cerita, Ki Ageng Mangir dan Putri Pembayun pun sepakat untuk menikah. Kesepakatan itu pun harus dipenuhi oleh Ki Ageng Mangir dengan meminta restu dari Panembahan Senopati selaku ayah dari Putri Pembayun. Saat akan meminta restu Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir kemudian bergegas menuju singgasana Watu Gilang.
Pajarno kemudian menceritakan bahwa Ki Ageng Mangir berlutut sambil menunduk di hadapan Panembahan Senopati. Tak lama berselang, kedua tangan Panembahan Senopati memegang kepala Ki Ageng Mangir dan sontak kepalanya dibenturkan ke atas Watu Gilang. Ki Ageng Mangir pun kemudian tewas di tempat dan akhirnya Mangir berhasil jatuh ke Mataram.