Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikayat Watu Gilang: Kesederhanaan, Amarah, dan Kejayaan

19 April 2020   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:13 2222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi saat Ki Ageng Mangir akan meminta restu kepada Panembahan Senopati| instagram.com/hayuningyokta/

Watu Gilang dan Kematian Ki Ageng Mangir

Ilustrasi saat Ki Ageng Mangir akan meminta restu kepada Panembahan Senopati| instagram.com/hayuningyokta/
Ilustrasi saat Ki Ageng Mangir akan meminta restu kepada Panembahan Senopati| instagram.com/hayuningyokta/

Nilai kesakralan yang dimiliki oleh Watu Gilang sendiri tidak hanya berhenti diseputaran nama dan sejarah akan fungsinya saja. Watu Gilang secara sejarah menurut penjelasan Pajarno juga pernah berfungsi sebagai alat untuk menghabisi nyawa dari musuh Kanjeng Panembahan Senopati, yakni Ki Ageng Mangir. 

Bukti fisik sejarah tersebut dapat kita temukan pada permukaan Watu Gilang yang berbentuk seperti cekung kecil di bagian ujung depan kanan Watu Gilang. Kisah mengenai permusuhan ini dimulai dari keengganan Ki Ageng Mangir untuk tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. 

Mangir sendiri merupakan sebuah wilayah yang saat ini berlokasi di daerah Kabupaten Bantul. Ki Ageng Mangir pada awalnya adalah seorang tumenggung atau seorang penguasa daerah (setara seperti kecamatan atau kabupaten). 

Awalnya Ki Ageng Mangir tidak mengetahui bahwa dirinya mendirikan daerah kekuasaan di dalam lingkup Kerajaan Mataram Islam. Menurut penjelasan Pajarno, Ki Ageng Mangir saat itu menganggap bahwa daerah itu adalah tanah tak bertuan yang layak ditempati oleh siapapun. Ki Ageng Mangir disatu sisi juga dikenal sebagai orang sakti karena memiliki pusaka berupa mata tombak yang bernama Kiai Baru Klinting.

“Konon katanya pusaka ini bisa menghancurkan siapa saja, dengan cara tombak di arahkan pada suatu target. Alhasil nanti targetnya pasti akan kena (tombak),” tutur Pajarno.

Singkat cerita, Panembahan Senopati tidak ingin Mangir menjadi kerajaan baru didalam daerah kekuasaannya. Kemudian untuk bisa mengalahkan dan mengambil pusakanya, maka Panembahan Senopati memerintahkan anak perempuannya yang paling tua, yakni Putri Pembayun untuk membawa Ki Ageng Mangir masuk ke istana Kotagede tanpa membawa Kiai Baru Klinting

Putri Pembayun melaksanakan misi tersebut dengan menyamar menjadi seorang pengamen di daerah Mangir. Ki Ageng Mangir segera mengetahui hal tersebut dan tak lama kemudian terpincut dengan kecantikan dari Putri Pembayun. 

Singkat cerita, Ki Ageng Mangir dan Putri Pembayun pun sepakat untuk menikah. Kesepakatan itu pun harus dipenuhi oleh Ki Ageng Mangir dengan meminta restu dari Panembahan Senopati selaku ayah dari Putri Pembayun. Saat akan meminta restu Panembahan Senopati, Ki Ageng Mangir kemudian bergegas menuju singgasana Watu Gilang. 

Pajarno kemudian menceritakan bahwa Ki Ageng Mangir berlutut sambil menunduk di hadapan Panembahan Senopati. Tak lama berselang, kedua tangan Panembahan Senopati memegang kepala Ki Ageng Mangir dan sontak kepalanya dibenturkan ke atas Watu Gilang. Ki Ageng Mangir pun kemudian tewas di tempat dan akhirnya Mangir berhasil jatuh ke Mataram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun