Setiap kerajaan diseluruh dunia pasti akan memiliki sebuah singgasana. Singgasana pada hakikat dan fungsinya memang diperuntukan sebagai tempat duduk atau kursi bagi seorang Raja untuk bertakhta atas kekuasaan yang dimilikinya.Â
Singgasana raja dalam perspektif dan imaji masyarakat umum mungkin digambarkan sebagai rupa dari kursi yang mahal, berlapis emas, terlihat megah nan elok dan kedudukannya pasti jauh lebih tinggi dari hamba-hambanya.Â
Namun, siapa sangka jika ternyata pernah ada sebuah kerajaan di Indonesia yang memiliki singgasana yang sangat sederhana yang jauh dari imaji megah dan elok.Â
Bayangkan saja, singgasana ini terbuat dari sebuah batuan andesit alami, berbentuk pahatan persegi, berukuran 2x2 meter dan memiliki ketebalan hampir 30 sentimeter. Singgasana raja ini terletak disebuah kota kuno di Provinsi D. I Yogyakarta.Â
Kota itu bernama Kotagede, kota pertama yang muncul di tanah Yogyakarta dan sekaligus menjadi ibu kota pertama dari kerajaan paling termashyur di Indonesia saat itu, Kerajaan Mataram Islam. Singgasana raja itu sering disebut penduduk lokal sebagai Watu Gilang.
Watu Gilang sejatinya adalah satu dari sekian banyak peninggalan artefak sejarah dari Kerajaan Mataram Islam saat ibu kota Mataram masih berlokasi di Kotagede. Watu Gilang sendiri sebagai artefak sejarah dianggap masih menyimpan begitu banyak misteri.Â
Salah satu misteri yang belum terpecahkan adalah apakah benar Watu Gilang dahulunya di peruntukan sebagai singgasana raja? Pajarno, seorang abdi dalem dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertugas menjadi juru kunci dari situs sejarah Watu Gilang kemudian menjadi pemandu wisata saya untuk menjelaskan secara lebih dalam terkait dengan sejarah dan seluk beluk dari situs sejarah Watu Gilang.Â
Pajarno menjabarkan dan mengklaim secara cukup gamblang bahwa memang situs Watu Gilang pada dasarnya adalah singgasana Raja bagi Raja pertama Mataram Islam kala itu, yakni Panembahan Senopati.
Pajarno menjelaskan bahwa Watu Gilang ini adalah sebuah batuan alami yang sudah berada disana sebelum Kerajaan Mataram Islam berdiri. Watu Gilang sendiri pada dasarnya berada di sebuah hutan yang bernama Hutan Mentaok atau dalam bahasa Jawa disebut Alas Mentaok.Â
Alas Mentaok pada awal sejarahnya adalah sebuah pemberian hadiah tanah dari Raja Pajang, Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan, ayah dari Panembahan Senopati.Â