Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikayat Watu Gilang: Kesederhanaan, Amarah, dan Kejayaan

19 April 2020   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2022   10:13 2222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberian hadiah itu pada dasarnya diberikan atas jasa dari Ki Ageng Pemanahan yang telah berhasil mengalahkan musuh dari Kerajaan Pajang, yakni Arya Penangsang. 

Atas pemberian hadiah berupa Alas Mentaok tersebut, kemudian Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati bersama dengan para pengikutnya mulai untuk membangun kerajaan baru dan kelak diberi nama Kerajaan Mataram Islam. 

Kabarnya, nama dari Mataram sendiri diambil dari nama menatok, pohon yang menjadi flora dominan di hutan tersebut. Kata menatok ini kemudian digabungkan dengan kata harum yang kemudian dikenal sebagai menatok arum atau menatok yang harum. Kemudian nama tersebut berubah menjadi Mentaram dan kemudian berubah lagi menjadi Mataram sampai sekarang.

Bangunan yang melindungi Watu Gilang, tahun 1925| pinterest.com/Uploaded by Oud Indie
Bangunan yang melindungi Watu Gilang, tahun 1925| pinterest.com/Uploaded by Oud Indie

“Watu Gilang itu dipakai oleh Panembahan Senopati sebagai singgasana raja karena posisinya lebih tinggi dari tanah supaya para kawulanya bisa sujud dan mengabdi kepada sang raja,” tutur Pajarno saat ditemui Selasa (21/1/2020).

Watu Gilang pada dasarnya mengandung sebuah arti yang cukup filosofis, yang kental dan lekat dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Pajarno menjelaskan bahwa Watu Gilang itu terdiri dari dua arti kata. Yang pertama adalah Watu yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai batu. 

Sedangkan, kata Gilang sendiri menurut penjelasan Pajarno diambil dari kata prayogi atau prayoga. Kata prayogi atau prayoga dalam bahasa Jawa memiliki arti sebagai tindakan “berdoa” atau dilain hal dapat dimengerti sebagai “kebenaran yang pertama”. Pajarno kemudian menjelaskan apa maksud dari dua gabungan kata ini yang kemudian membentuk nama bagi Watu Gilang.

Menurut penjelasan Pajarno, Watu Gilang pada dasarnya diperuntukan sebagai tempat untuk orang bersemedi dan berdoa demi mencari serta mendapatkan sebuah ilham. 

Arti dari kata “Kebenaran yang Pertama” inilah yang konon membuat mengapa Watu Gilang itu memiliki keskaralan, bahwa tidak boleh sembarangan orang dan orang yang hanya digariskan saja yang berhak untuk duduk diatasnya, yang dalam konteks ini adalah Panembahan Senopati raja pertama Mataram Islam. 

Pajarno kemudian juga menceritakan bahwa Kanjeng Panembahan Senopati sering melakukan semedi untuk mendapatkan ilham dan petunjuk Tuhan dalam mengatur kerajaan. Hal inilah yang kemudian membuat mengapa Watu Gilang menjadi begitu sakral.

“Kalau meditasi atau semedi itu biasanya dalam kepercayaan Jawa itu dikenal sebagai raga sukma atau melepas jiwa dari raga, jadi seolah-olah melepas jiwa dan bertemu dengan Tuhan,” tutur Pajarno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun