Ketika Rafel mengucapkan berkat penutup dan misa selesai, Laras tak bisa menyembunyikan perasaan campur aduk yang ia rasakan. Meskipun mereka sekarang berada di dua dunia yang berbeda, pertemuan mata mereka saat misa tadi seolah menjadi bahasa yang tak perlu kata-kata. Seperti percakapan hati yang menghubungkan mereka di luar ruang dan waktu.
Setelah misa selesai, Rafel mendekati Laras. Suasana gereja mulai sepi, hanya tinggal beberapa umat yang masih berdoa dalam diam. Ketika mereka saling berhadapan, tak ada kata yang langsung terucap. Mereka hanya saling menatap, membiarkan perasaan mereka berbicara dalam keheningan itu. Rafel merasa ada kedamaian yang aneh, bercampur dengan rasa syukur bahwa meski Laras tak lagi menjadi bagian dari hidup pribadinya, ia masih hadir di sisinya dalam doa.
Laras tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku selalu mendoakanmu, Rafel," katanya dengan suara lembut. "Aku bahagia melihatmu menjalani panggilanmu dengan sepenuh hati."
Rafel mengangguk, merasakan kedamaian yang mendalam. "Terima kasih, Laras. Doamu selalu menjadi kekuatan bagiku."
Dalam keheningan gereja yang syahdu, mereka tahu bahwa meski cinta mereka telah berubah bentuk, perasaan itu tetap ada. Kini bukan lagi cinta yang penuh hasrat atau keinginan untuk bersama, tapi cinta yang matang, penuh keikhlasan dan doa, yang tumbuh di hati masing-masing untuk saling mendukung dari jalan yang berbeda.
Mereka berpisah dengan senyum di wajah mereka, membawa kenangan yang indah tentang cinta yang pernah mereka miliki. Cinta yang tidak pernah pudar, meski harus dikorbankan demi panggilan yang lebih besar. Dan meski mereka tidak lagi bersama, mereka tahu bahwa cinta mereka akan selalu ada, tersembunyi dalam setiap doa dan setiap langkah yang mereka ambil dalam hidup ini.
Waktu terus berlalu. Rafel, yang kini telah menjadi seorang imam, melayani di sebuah parokisebagai Vikaris Parokial. Ia merasa damai dengan pilihan hidupnya, meski bayangan Laras tetap tersimpan rapi di sudut hatinya. Hingga suatu hari, Rafel menerima sebuah surat yang tak pernah ia duga---undangan pernikahan dari Laras.
Surat itu datang dengan amplop berwarna gading, dihiasi pita emas yang elegan. Rafel membukanya dengan hati-hati, dan ketika ia melihat nama Laras di sana, hatinya terasa seperti dihantam oleh gelombang perasaan yang selama ini ia coba kendalikan. Laras akan menikah, dan ia diundang untuk memberkati pernikahannya.
Rafel duduk terdiam di kamarnya, merenungi surat itu. Hatinya bergetar, merasakan campuran antara kebahagiaan dan kesedihan yang mendalam. Kebahagiaan karena Laras akhirnya menemukan cinta dan pasangan hidup, namun juga kesedihan karena ia harus melepaskan Laras untuk selamanya. Malam itu, Rafel berdoa lebih lama dari biasanya. Ia memohon kekuatan dari Tuhan untuk menjalankan tugasnya sebagai imam yang memberkati pernikahan wanita yang pernah ia cintai.
Hari yang dinanti pun tiba. Rafel berdiri di depan altar, mengenakan jubah dan kasula putih, dan mulai memimpin perayaan. Ketika Laras dan calon suaminya memasuki gereja dengan gaun pengantin putih yang indah, Rafel merasakan jantungnya berdetak kencang. Laras tampak begitu cantik, seperti malaikat yang turun dari langit.
Namun, ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berbeda. Mereka saling memahami, tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun. Mereka tahu bahwa mereka berdua telah memilih jalan yang benar, meski jalan itu membawa mereka pada arah yang berbeda.