Rafel tak langsung membalas, mungkin karena terlalu banyak hal yang sedang ia hadapi. Laras pun meletakkan ponselnya, menatap jendela dengan perasaan campur aduk.
Hari-hari setelah komunikasi itu, Laras mulai belajar menerima bahwa perasaannya pada Rafel kini harus ia simpan sebagai kenangan indah. Setiap kali rasa rindu muncul, ia mendoakan Rafel, berharap kehidupan barunya sebagai seorang imam dipenuhi kedamaian dan sukacita.
Mereka tetap masih berkomunikasi sesekali, tapi komunikasi mereka berubah menjadi lebih formal, lebih dewasa. Laras juga mulai membuka hatinya pada kehidupan baru, mengalihkan perasaannya pada pekerjaan dan kegiatan sosial yang ia tekuni.
Waktu berjalan, dan perlahan, Laras menemukan kedamaian dalam menerima bahwa cinta yang dulu ia rasakan untuk Rafel sekarang menjadi cinta yang lebih luas, cinta yang tidak lagi berfokus pada satu orang, tapi pada dunia di sekitarnya. Sementara itu, Rafel pun menjalani hidupnya sebagai imam dengan penuh dedikasi, membawa serta doa-doa Laras di dalam hatinya.
Meskipun jalan mereka tak pernah bertemu lagi seperti dulu, Laras tahu dalam hatinya bahwa melepaskan Rafel bukanlah akhir dari kebahagiaannya. Sebaliknya, ia menemukan makna baru dalam cinta yang sejati---cinta yang merelakan, mendukung, dan mendoakan tanpa harus memiliki.
Suatu hari, dua tahun berselang setelah tahbisan, di sebuah Paroki di mana Pastor Rafel bertugas sebagai Vikaris Parokila, ia memimpin misa. Dengan jubah putih panjang yang menutupi tubuhnya dan kasula hijau yang melambangkan harapan, ia tampak gagah dan penuh kharisma.Â
Langkahnya mantap menuju altar, memimpin perayaan Ekaristi penuh hikmat. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap gerakan tangannya saat memegang Komuni Kudus, memancarkan ketulusan dan dedikasi sebagai imam.
Namun, di tengah misa, ketika Rafel mengangkat pandangannya dari altar, matanya tanpa sengaja bertemu dengan sosok yang membuat waktu seolah berhenti sejenak. "Laras". Ia duduk di bangku ketiga dari depan, wajahnya teduh, dengan senyum lembut yang masih sama seperti yang ia ingat. Jantung Rafel berdegup lebih cepat, tapi ia tetap menjaga ketenangannya.Â
Dalam diam, perasaannya kembali bergolak---cinta yang dulu ia rasakan, kini berubah menjadi rasa syukur dan kedamaian, meski perihnya masih terasa samar di sudut hatinya.
Sementara itu, Laras duduk dengan hati yang berdesir melihat sosok Rafel yang kini seorang romo. Ia tampak lebih dewasa, lebih tenang, dan semakin terpancar wibawanya sebagai seorang imam.Â
Jubah dan kasula yang dikenakan Rafel membuatnya tampak begitu berbeda, namun baginya, di balik semua itu, Rafel yang ia kenal dan pernah ia cintai tetap ada di sana. Laras merasa bangga, meski di saat yang sama hatinya sempat terselubung oleh rasa haru.