Patut dicatat bahwa dalam perkembangan saat ini, konsep demikian tidak lagi begitu diperhitungkan atau kian melemah karena sikap dan perilaku orang-orang tertentu yang merusak alam demi kepentingan pribadi.
b.     Kepercayaan terhadap roh-roh halus dan arwah
Sistem kepercayaan terhadap roh-roh halus dan arwah para leluhur merupakan hal yang menggejala di hampir semua masyarakat Asia. Demikian pula masyarakat Lewotoby yang mengenal nama Nitung Lolon (dewi di darat) dan Hari (dewi di laut), serta Kwoko Kliten (arwah para leluhur). Nitung lolon dan hari dipercaya memiliki kekuatan dahsyat yang menguasai daratan dan lautan. Konsep ini memperlihatkan nilai yang mengajarkan bahwa manusia hanyalah segelintir makluk lemah di bumi karena masih ada kekuatan lain yang menguasai baik darat maupun laut yang lebih berkuasa darinya. Kepercayaan terhadap kwoko kliten dihayati sebagai pengalaman bahwa walaupun arwah itu telah meninggal namun mereka masih tetap hidup di dunia sekarang. Nuha witi (pulau kambing) -sebuah pulau yang terletak di laut sawu (± 1,5 jam perjalanan dari pantai Lewotoby)- dipercaya sebagai tempat tinggal para arwah tersebut. Sebagai representasi keberadaan para arwah itu dalam kehidupan mereka, masyarakat Lewotoby khususnya dan Flores Timur umumnya selalu menyisipkan nama para leluhur itu dalam nama anak-anak mereka.
c.      Kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi
Para antropolog telah menyelidiki dan kemudian membuktikan bahwa setiap suku kendatipun paling arkhais (kuno) senantiasa memiliki suatu kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi, yang dipandang sebagai pengatur dan penjamin sekaligus penentu tata kehidupan didunia.
Kepercayaan terhadap wujud tertinggi dalam masyarakat Lewotoby itu lazim dikenal dengan nama Lera Wulan Tanah Ekan. Nama ini sejatinya berarti tak terjangkau dan tak terukur, namun juga dekat dan riil dalam hidup. Lera yang berarti matahari diyakini mempunyai kekuatan yang luar biasa dan misterius sekaligus tak terjangkau. Karenanya ia dipandang sebagai yang paling tinggi dan sempurna yang patut dijadikan sebagai salah satu sifat dari Yang Maha Tinggi. Wulan yang berarti bulan merupakan symbol segala perubahan di dunia beserta seluruh kegiatan manusiawinya. Posisi bulan dalam peredarannya dipakai masyarakat Lewotoby sebagai patokan untuk memulai atau memasuki masa/musim baru dalam hidup, seperti masa bercocok tanam, saat mencari ikan di laut, dan lain-lain. Orang Lewotoby melukiskan lera wulan itu sebagai dasar segala kenyataan hidup manusia.
Paul Arndt (seperti yang dikutip oleh Withyn: 7-8) menjelaskan tentang tanah ekan itu dibentuk dari kata tana (Autronesia) dan ekan (Sanskrit). Kedua kata itu berarti lingkungan hidup atau bumi yang merupakan ruang hidup dan tempat bekerja serta tempat tinggal manusia. Demikianlah masyarakat Lewotoby menamai Wujud Tertinggi itu dengan mengkombinasi eksistensi matahari dan bulan sebagai sesuatu yang di atas dan tanah (bumi) sebagai sesuatu yang dibawah, yang mempunyai makna gaib dan mistis namun nyata dalam hidup manusia.
2.     Sistem mata Pencaharian (Ekonomi)
Mata pencaharian utama penduduk Lewotoby adalah bertani atau bercocok tanam. Sistem pertanian yang biasa dilakukan adalah berladang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan kadar kesuburan lahan. Sistem berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan lain tidak berarti bahwa mereka tidak mengenal cara pembagian tanah garapan karena dalam kenyataan bahwa penduduk lewotoby mempunyai tanah warisan para leluhur masing-masing. Hanya saja bahwa apabila lahan itu telah digarap beberapa kali maka ditinggalkan ke lahan yang lain, dengan tujuan peningkatan penghasilan dan memberi kesempatan pada lahan yang lama untuk secara alamiah mngembalikan kesuburannya. Pada zaman dahulu, pembukaan lahan baru senantiasa dimulai dengan upacara adat/ritual tertentu, namun pada masa sekarang telah menghilang karena perubahan tingkat pendidikan masyarakatnya yang semakin tinggi.
Petani berladang dalam masyarakat Lewotoby sangat bergantung pada curah hujan yang hanya terjadi dalam bulan Oktober-Januari. Periode ini pun amat tidak menentu karena terkadang baru dimulai pada bulan Desember sampai Mei, sesuai dengan curah hujannya. Cara menanamnya dengan system tugal. Tanaman yang biasa ditanam adalah padi, jagung, kacang serta beberapa jenis tanaman lainnya.
Yang menarik pada saat pengerjaan lahan sampai dengan penuaiannya adalah aspek sosial-kolektifnya. Nilai kebersamaan, gotong royong dan semangat saling membantu amat terasa. Mereka mengenalnya dengan istilah gemohin (gotong royong) atau ungkapan pai Ttite hama-hama, epu limake, taan one tou, yang bermakna ajakan untuk bergandengan tangan dan bersatu hati untuk saling membantu dan bekerja sama.