[caption id="attachment_139095" align="alignleft" width="300" caption="Gunung Kembar Lewotoby"][/caption] Lokasi
Lewotoby merupakan sebuah wilayah yang terletak di kabupaten Flores Timur, dalam lingkup kecamatan Wulanggitang. Lewotoby berasal dari dua penggalan kata yang bertolak belakang artinya, lewo yang berarti kampung dan Tobi berarti asam ( Kampung asam ). Dinamai demikian karena tepat di jantung kampung itu berdiri sebuah pohon asam dengan halaman yang cukup luas, tempat dimana pada masa lalu biasa diadakan pertemuan baik pemerintahan maupun adat oleh penduduknya.Wilayah ini adalah sebuah dusun kecil yang bergabung dalam desa Birawan. Birawan merupakan akronim dari tiga sub dusun yakni Lewotoby (Bi), Lewouran (Ra) dan Lewoawan (Wan). Dewasa ini sudah ada pemekaran, sub dusun Lewoawan berafiliasi dengan dusun Biranilan membentuk desa baru, sedangkan Lewotoby dan Lewouran tetap bernaung di bawah nama Birawan.
Lokasi pedesaan ini terletak dibawah kaki gunung kembar yang juga bernama Lewotoby. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, ile Lewotoby (gunung lewotoby) yang bercabang dua ini diidentikan sebagai gunung laki-laki dan perempuan sehingga dalam bahasa setempat disebut dengan ile berlakin (gunung laki-laki) dan ile berwain (gunung perempuan). Masih berkaitan dengan keberadaan gunung ini, pada masa lampau apabila curah hujan mengalami penurunan, penduduknya selalu mengadakan ritual berupa memberi makan kedua gunung ini dengan membawa sedekah ke kaki gunung .
Dusun lewotoby memiliki keadaan alam yang kering dan tandus sebagaimana wilayah Flores pada umumnya, ke arah utara berbatasan dengan gunung Lewotoby, arah Timur berbatasan dengan desa Nuri (Nurabelen-Riangkaha), ke barat dengan desa Lewoawang dan ke selatan dibatasi oleh laut sawu. Dengan keadaan alam yang gersang ini menuntut para penghuninya untuk bekerja keras serta memiliki semangat juang yang tinggi menantang alam yang ganas.
Latarbelakang Kehidupan Masyarakat Pada prinsipnya, berbicara mengenai adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah tertentu tidak terlepas dari latar belakang kehidupan masyarakatnya. Ilmu Antropologi menunjukan bahwa ada tujuh obyek yang senantiasa menjadi latar belakang kehidupan suatu masyarakat, yakni system kepercayaan (religi), system mata pencaharian (ekonomi), system bahasa, system pendidikan atau pengetahuan, komunitas dan system kesenian serta system kekerabatan yang sangat berpengaruh terhadap adat atau system norma yang berlaku. Marilah kita melihat satu persatu system itu serta aplikasinya dalam kehidupan masyarakat Lewotoby.
1.     Sistem Kepercayaan (Religi).
Sistem kepercayaan suatu masyarakat merupakan pertemuan antara manusia dan Sesuatu yang Kudus (Ilahi), yang dipandang lebih tinggi dari manusia. Dalam hidupnya, manusia senantiasa menjalin relasi dengan sesutu yang kudus atau lazim disebut juga sebagai "roh tertinggi", karena dia menganggap dirinya tidak mampu memperoleh hidup abadi. Oleh karena itu, maka manusia merasa amat bergantung secara total pada yang kudus itu, walaupun Ia tremendum (maha hebat) sekaligus fascinosum (memiliki daya tarik yang kuat).
Sebelum kedatangan agama Kristen dari Eropa, masyarakat yang menghuni dusun ini sudah menganut sebuah kepercayaan asli. Keprcayaan asli ini muncul bersamaan dengan adat kebiasaan yang dianggap sebagai dasar kelanjutan suku. Pujaan kepada Leluhur di Nusa Tenggara Timur rupanya dianggap identik dengan suku, tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa leluhur yang menjadi tremendum sekaligus fascinosum mereka. Sosialitas penduduk Nusa Tenggara Timur dalam menyembah dan menghormati satu kekuatan tertinggi dinamakan sesuai dengan konteks budaya masing-masing. Menurut mereka, kekuatan tertinggi itu di beri gelar Maha Tinggi, Maha Kuasa, Maha Pencipta dan Maha Penyelenggara. Nama-nama yang dialamatkan kepada Wujud Tertinggi itu bersifat kosmis dan antropomorfis serta simbolis.
a.  Kepercayaan kepada Kosmos
Pada umumnya orang Timur berpikir secara monistis       tentang kosmos. Mereka melihat manusia sebagai suatu bagian dengan alam. Manusia adalah mikrokosmos yang berelasi dengan alam yang makrokosmos yang memiliki kesadaran dan sejumlah kewajiban untuk menjalankan relasi yang harmonis dengan alam. Hal ini nampak dalam cara berpikir dan bersikap terhadap benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib serta angker. Benda-benda itu  misalnya pohon-pohon besar dan barang-barang warisan nenek moyang .
Konsep berpikir demikian juga tampak masih berkembang di kalangan masyarakat Lewotoby sejak awal hingga dewasa ini. Dalam relasi dengan kosmis, masyarakat Lewotoby yang adalah petani akan membuat ritus untuk meminta restu roh-roh leluhur sebelum menebang pohon atau membuka hutan untuk lahan kebun yang baru. Seandainya hal itu tidak dilakukan akan membawa akibat petaka pada anggota keluarga mereka yang akan menderita. Untuk menghindari hal itu maka mereka dituntut untuk senantiasa menjaga keselarasan dan keharmonisan dengan alam. Contoh lain konsep berpikir demikian tampak dalam larangan untuk memindahkan wato moran (tumpukan batu) yang digunakan sebagai pembatas antara kebun milik mereka. Keserakahan untuk memperluas lahan kebun dengan memindahkan batu tanda pembatas kebun itu akan membawa penderitaan anggota keluarga itu turun temurun.