Mohon tunggu...
Thimie KnightDahmer
Thimie KnightDahmer Mohon Tunggu... Tutor - Tentor Bahasa Inggris dan novelist genre Thriller

Saya adalah tentor Bahasa Inggris yang sudah mengajar sejak tahun 2006. Saya lulusan S1 Hukum UII tapi saya memilih untuk membagi pengetahuan saya tentang Bahasa Inggris kepada teman-teman yang belum paham. Sejak tahun 2015 saya tertarik untuk menulis novel dan saya sudah menghasilkan 6 novel yang saya awali dengan genre romance dan sekarang saya memilih menulis genre thriller.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisahku

24 April 2023   09:37 Diperbarui: 24 April 2023   09:38 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.instagram.com/officialchrissbee

"Kau yakin ingin kita bercerai?" tanya Qoiry di Sabtu sore yang mendung. Qoiry Sakban adalah seorang lelaki asal Klaten yang menikahiku 3 tahun yang lalu. "Karena aku tidak membayari operasi sesarmu?" tanyanya lagi.


Aku hanya bisa diam membisu. Duduk dipinggir tempat tidur dikamar kami yang tidak begitu luas. Aku menarik napas. Aku ingin menangis tapi aku tahan. Aku bingung dengan pikiranku sendiri.


"Ibumu kan yang memintamu? Perceraian ini bukan datang dari dirimu. Aku tahu itu," ucapnya lagi sambil mengganti kaosnya yang sudah kotor.


Aku bingung harus berkata apa. Dia memang benar. Perceraian ini atas permintaan  Ibuku. Dimata Ibuku, Qoiry tidak pantas menjadi menantunya. Dua kali sesar dia tidak ikut cawe-cawe bayar, padahal yang lahir adalah anaknya, tapi justru Ibuku yang keluar uang untuk bayari kelahiran anak-anaknya.


"Kamu tahu sendiri, aku tidak punya uang ..." dia membela dirinya sendiri. Memberi alasan kenapa dia tidak membayari kelahiran Dea dan Rahmad.


"Kamu bisa minta tolong dua kakak-kakakmu yang sudah sukses. Minta mereka untuk patungan," aku sudah tidak bisa untuk berdiam diri lagi.


"Kamu pikir semudah itu? Ibu juga baru saja keluar dari rumah sakit," belanya lagi.


Aku memilih mengalah pada keadaan. Aku keluar dari kamar. Berjalan ke belakang rumah.


"Qoiry bilang, kamu akan menggugat cerai?" tanya Ibu mertuaku yang sedang duduk di dipan belakang rumah.


Aku menghentikan langkahku. Aku berjalan dan duduk disamping Ibu mertuaku. Seorang wanita desa yang memiliki 3 putra dan 1 putri. Suamiku adalah anak bungsu.


"Kamu itu anak atau istri, Ti?"


Aku hanya bisa tersenyum kecut. Ada perasaan perih di dada. Tidak bisa kubayangkan anak-anak akan besar tanpa kehadiran seseorang yang mereka panggil ayah. Tapi ada secercah harapan, jika toh bercerai pun Qoiry masih bisa datang untuk bertemu dengan anak-anaknya.


"Wati pamit pulang Bu," ucapku sambil mengecup punggung tangan wanita tua itu.
"Sudah pamit dengan suamimu?"


Aku hanya mengangguk. Aku berjalan menuju sepeda motorku. Aku nyalakan mesinnya dan berjalan keluar dari halaman rumah yang asri itu. Dalam perjalanan kembali ke rumahku di Yogya kota, aku sudah tidak bisa untuk menahan tangisku.


"Aku masih sangat mencintaimu Mas," isakku. Aku tidak bisa berhenti mengusap airmataku. "Maafin bunda, anak-anakku?" lirihku.
Aku menyusuri jalan Kaliurang. Beberapa menit kemudian, aku pun tiba di rumah yang sudah berdiri dari tahun 1987.


Begitu aku masuk rumah, Ibuku lalu bertanya, "Gimana, jadikan?"


Aku hanya mengangguk dan langsung masuk ke kamar.


Di kamar, aku melihat Rahmad, putra bungsuku yang berusia 1 tahun sedang tidur dengan nyenyaknya. Aku peluk dia lalu berbisik pelan ditelinganya, "Maafin Bunda ya, Le?" Tak terasa airmata kembali menetes di pipiku.


Tidak perlu waktu lama, hanya 2 kali sidang akhirnya tepat di bulan Desember 2012, status janda sudah kusandang. Awal aku dan Qoiry berniat rujuk karena baru cerai talak 1, tapi pertengahan 2013 semuanya berubah. Sejak saat itu tidak kutemui lagi wajahnya. Anak-anak besar tanpa seorang yang bisa dipanggil ayah.


Pelan tapi pasti rasa bersalah mulai muncul dan menghantui. Stress mulai menghantuiku. Honorku yang hanya ala kadarnya membuatku pusing. Disisi lain ibuku mulai kumat membanding-bandingkan aku dengan wanita sukses lainnya. Hatiku panas dibuatnya. Rasa tidak ingin meminta uang kepada Ibuku makin besar, tapi bingung mau kerja dimana?


Beberapa kali mencoba untuk kerja kantoran berakhir dengan pemecatan. Aku hanya bisa mengajar Bahasa Inggris. Parahnya, aku hanya bisa percakapan dan Bahasa Inggris dasar. IPku tidak memadai untuk aku melamar di kantor Notaris misalnya. Aku lulus hanya asal lulus waktu itu. IPku hanya 2,54 dan asli aku tidak terlalu paham hukum.


Salah jurusan? Bisa jadi. Tapi apa mau dikata? Sudah terlanjur masuk, ya sudah. Waktu masih single, justru gajiku lumayan bisa diatas 600 ribuan. Justru ketika sudah punya anak, ntah kenapa gajiku melorot sangat jauh.


Sedih? Pastinya. Aku hanya bisa mengutuki diriku sendiri manusia bodoh. Sahabatku bilang, tidak seharusnya aku mengikuti ego Ibuku. Tidak seharusnya aku bercerai. Tapi kini semua sudah hancur berkeping.


Tahun 2015, Mei Bapakku berpulang keharibaanNya. Kesedihan yang melanda semakin menjadi dengan ketidakadaannya Bapak.
"Mbak Wati hanya tinggal punya Mama sekarang. Patuhi semua ucapannya, ya?" itu pesan saudara-saudaraku ketika melayat.


Ketika aku membutuhkan pelukan untuk menguatkanku, tidak ada satu saudaraku yang mau untuk memelukku. Bedah bumi Bapak waktu itu, saudara-saudaraku yang membayarkannya. Aku mana ada duit?


Sebulan kemudian, aku iseng membuka blokiran FB mantan suamiku. Disana terpampang foto resepsi pernikahannya. Hancur hatiku jangan dikira. Aku mulai mengutuki Allah. Aku bahkan berniat mencari Tuhan baru.


"Jika Kau tak mau untuk aku ikuti, ya sudah masih ada Tuhan lain yang sudi untuk menolongku," amarahku memuncak.


Aku rusak? Pastinya. Aku merokok, jual diri? Jangan ditanya. Aku begitu lihai memuaskan napsu para hidung belang itu. Ntah itu suami orang atau para mahasiswa yang haus akan hasrat sex aku tidak peduli yang penting ada uang ditangan.


Hamil? Tidak ada dalam kamusku karena aku memakai IUD. Jadi aman bagi para klienku untuk mengeluarkan sperma mereka di dalam.


Di dalam keadaanku yang rusak itu, saudaraku yang alumni ponpesnya Aa Gym hanya menertawaiku. "Wati ... Wati. Tidak sadarkah kamu yang kamu tantang adalah Tuhan pemilik alam semesta?"


Nasehat dia pelan tapi pasti mulai menyadarkanku akah kekhilafanku. Aku mulai kembali bisa untuk menata hidupku. Pelan tapi pasti no hape aku ganti, nama FB aku ganti dan mulai untuk kembali menyandarkan diriku pada Allah.


"Ampuni aku Ya Rabb? Aku terjatuh dan kini aku ingin bangkit. Berikan aku tanganMu agar aku bisa untuk berdiri lagi." Doaku dan pintaku dalam sholat-sholatku. Tidak lupa pula aku bermohon agar mantanku tidak diberikan anak perempuan.


Dengan  berjalannya waktu Dea dan Rahmad tumbuh besar. Belum ada dalam benak mereka mempertanyakan soal ayahnya. Karena dari kecil mereka sudah aku racuni, "Jika ada yang tanya siapa ayahnya? Jawab saja ayahku namanya MacGyver," pintaku selalu.

 MacGyver adalah judul miniseri dari Amerika yang menjadi idolaku. Dari mereka kecil sudah aku racuni untuk selalu melihat miniseri itu.


"Dea mau nonton ayah MacGyver," ucap si sulung ketika dia ingin melihat "aksi" ayahnya dalam layar kaca.


Aku menawarkan diriku di beberapa kursusan Bahasa Inggris berakhir dengan zonk. Tapi aku tidak menyerah. Iseng aku mulai untuk belajar menulis cerita. Awal memang acak adul tidak karu-karuan. Aku punya sahabat namanya Jovan, seorang lelaki mantan model yang beranak 2 waktu itu. Lelaki yang aku kenal disebuah lembaga kursus Bahasa Inggris ketika kita masih sama-sama single. Aku minta dia untuk mengoreksi hasil tulisanku.


"A lot of mistakes, gees ..."  Dia hanya tersenyum melihat hasil tulisanku.


Aku dan Jovan ketika bertemu memang terbiasa berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Aku cemburu pada Jovan bukan karena aku mencintainya. Tapi lebih kepada istrinya sangat beruntung memilikinya.


Pelan tapi pasti aku mulai fokus belajar merangkai kata demi kata, hingga akhirnya aku mulai berani untuk mem-publish bukuku sendiri via self publishing. Bisa memeluk hasil karya sendiri membuat diriku ada sebuah kelegaan disana. Aku berikan hasil karyaku pada beberapa muridku. Walau mereka bilang "not bad" itu yang membuatku untuk tidak menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun