Dengan  berjalannya waktu Dea dan Rahmad tumbuh besar. Belum ada dalam benak mereka mempertanyakan soal ayahnya. Karena dari kecil mereka sudah aku racuni, "Jika ada yang tanya siapa ayahnya? Jawab saja ayahku namanya MacGyver," pintaku selalu.
 MacGyver adalah judul miniseri dari Amerika yang menjadi idolaku. Dari mereka kecil sudah aku racuni untuk selalu melihat miniseri itu.
"Dea mau nonton ayah MacGyver," ucap si sulung ketika dia ingin melihat "aksi" ayahnya dalam layar kaca.
Aku menawarkan diriku di beberapa kursusan Bahasa Inggris berakhir dengan zonk. Tapi aku tidak menyerah. Iseng aku mulai untuk belajar menulis cerita. Awal memang acak adul tidak karu-karuan. Aku punya sahabat namanya Jovan, seorang lelaki mantan model yang beranak 2 waktu itu. Lelaki yang aku kenal disebuah lembaga kursus Bahasa Inggris ketika kita masih sama-sama single. Aku minta dia untuk mengoreksi hasil tulisanku.
"A lot of mistakes, gees ..." Â Dia hanya tersenyum melihat hasil tulisanku.
Aku dan Jovan ketika bertemu memang terbiasa berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Aku cemburu pada Jovan bukan karena aku mencintainya. Tapi lebih kepada istrinya sangat beruntung memilikinya.
Pelan tapi pasti aku mulai fokus belajar merangkai kata demi kata, hingga akhirnya aku mulai berani untuk mem-publish bukuku sendiri via self publishing. Bisa memeluk hasil karya sendiri membuat diriku ada sebuah kelegaan disana. Aku berikan hasil karyaku pada beberapa muridku. Walau mereka bilang "not bad" itu yang membuatku untuk tidak menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H