Penulis: Thifal Yumna Nazihah, Dr. Sigid Eko Pramono, CA
Program Studi Akuntansi Syariah
Institut Agama Islam Tazkia
I. Pendahuluan
Akad syariah merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan syariat Islam. Dalam pengelolaan zakat, akad syariah memiliki urgensi tersendiri karena menyangkut hak-hak mustahiq (penerima zakat) yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Q.S. St-Taubah ayat 60. Oleh karena itu, pengelolaan zakat wajib dilandasi prinsip syariah yang memastikan bahwa dana zakat disalurkan secara tepat, sesuai dengan tujuan mulia untuk mengentaskan kemiskinan dan membantu golongan yang membutuhkan.
Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan Allah kepada pemiliknya (muzakki) untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan syarat-syarat tertentu. Zakat bertujuan menyucikan harta sekaligus memiliki fungsi sosial dilihat dari syariat penyalurannya yang meliputi delapan golongan (asnaf tsamaniyah), yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah dan ibnu sabil. Secara syariat, kedelapan golongan ini adalah orang yang berhak menerima zakat (Iska dan Rizal, 2005).
Zakat memiliki karakteristik unik sebagai amanah yang tidak bisa disalahgunakan atau dialihkan dari tujuan utama. Dana zakat sepenuhnya menjadi milik mustahiq sejak diterima oleh amil (pengelola zakat), menjadikan amil hanya sebagai perantara antara muzakki (pemberi zakat) dan mustahiq. Dalam perspektif syariah, sifat zakat yang harus segera didistribusikan (fauriyyah) menunjukkan pentingnya memberikan manfaat langsung kepada penerima. Penundaan distribusi, apalagi dengan tujuan investasi, tidak hanya melanggar prinsip ini, tetapi juga berpotensi mengurangi keberkahan zakat dan merugikan pihak yang seharusnya mendapatkan manfaatnya.Â
II. Permasalahan
Isu mengenai pengelolaan zakat melalui investasi muncul sebagai respons atas potensi besar dana zakat yang dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat secara ekonomi. Beberapa pihak berpendapat bahwa dana zakat yang dikumpulkan dalam jumlah besar dapat dikelola secara produktif, misalnya melalui investasi di sektor usaha atau proyek tertentu. Tujuannya adalah agar hasil dari investasi tersebut dapat meningkatkan jumlah dana yang tersedia untuk mustahiq. Namun, meskipun gagasan ini terdengar menarik, ia menimbulkan berbagai kontroversi dari sisi syariah, akuntansi, dan praktik pengelolaan zakat. Ada ulama yang berpendapat bahwasannya investasi dana zakat tidak diperbolehkan, dan ada pula yang berpendapat bahwa investasi dana zakat diperbolehkan namun dengan ketentuan tertentu.
Isu dana zakat yang dikelola melalui investasi dilatarbelakangi oleh adanya dana zakat yang belum tersalurkan, sehingga menimbulkan gagasan untuk menginvestasikannya terlebih dahulu. Gagasan ini memunculkan pertanyaan terkait keabsahan dan keadilan pengelolaan zakat. Secara ideal, zakat harus segera disalurkan kepada mustahik (penerima zakat) sesuai dengan asnaf yang telah disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60. Namun, beberapa lembaga pengelola zakat (Badan Aamil Zakat/Lembaga Amil Zakat) justru memilih untuk menginvestasikan dana zakat tersebut dengan dalih meningkatkan jumlah dana yang akan disalurkan di kemudian hari. Permasalahan ini berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip dasar zakat yang mengutamakan distribusi langsung kepada penerima yang berhak. Selain itu, hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan jika investasi tersebut mengalami kerugian atau menunda hak mustahiq untuk menerima zakat sesuai kebutuhan mereka.
III. Dasar Fatwa Ulama
Majelis Ulama Indonesia menetapkan dalam Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2003 tentang Penggunaan Dana Zakat untuk Istitsmar (Investasi) bahwa zakat mal harus dikeluarkan secara fauriyah atau sesegera mungkin. Penyaluran (tauzi'/distribusi) zakat mal dari amil kepada mustahiq, walaupun pada dasarnya harus fauriyah, dapat di-ta'khir-kan atau ditangguhkan apabila mustahiq-nya belum ada atau ada kemaslahatan yang lebih besar. Maslahat yang dimaksud adalah yang ditentukan oleh Pemerintah dengan berpegang pada aturan-aturan kemaslahatan sehingga termasuk maslahat syar'iyah.
Dalam fatwa tersebut, zakat yang ditangguhkan penyalurannya boleh diinvestasikan (istitsmar) dengan syarat-syarat:
- Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan yang berlaku (al-thuruq al-masyru'ah),
- Diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini akan memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan,
- Dibina dan diawasi oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi,
- Dilakukan oleh institusi/lembaga yang professional dan dapat dipercaya (amanah),
- Izin investasi (istitsmar) harus diperoleh dari Pemerintah dan Pemerintah harus menggantinya apabila terjadi kerugian atau pailit,
- Tidak ada fakir miskin yang kelaparan atau memerlukan biaya yang tidak bisa ditunda pada saat harta zakat itu diinvestasikan, serta
- Pembagian zakat yang di-ta'khir-kan karena diinvestasikan harus dibatasi waktunya.
IV. Standar Akuntansi Syariah
Pengelolaan zakat dalam kerangka akuntansi diatur secara khusus dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 409 tentang Akuntansi Zakat, Infak, dan Sedekah. PSAK ini menetapkan prinsip-prinsip pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan zakat agar dana yang dikelola oleh lembaga zakat transparan dan akuntabel. Salah satu poin utama dari PSAK 409 adalah bahwa zakat yang diterima lembaga pengelola harus diakui sebagai kewajiban hingga disalurkan kepada mustahiq. Hal ini menggarisbawahi bahwa zakat tidak dapat digunakan untuk tujuan lain, termasuk investasi.Â
Selain itu, PSAK 109 juga mengatur penyajian dana zakat dalam laporan keuangan lembaga zakat. Dana ini harus disajikan secara terpisah dari dana lainnya untuk memastikan transparansi. Laporan harus mencantumkan jumlah zakat yang diterima, distribusi yang dilakukan, serta saldo yang belum disalurkan. Dengan demikian, masyarakat, termasuk muzakki dan otoritas pengawas, dapat memantau bagaimana dana zakat dikelola sesuai prinsip syariah.
V. Analisis
Zakat adalah kewajiban ibadah maliyah yang memiliki aturan tegas dalam syariat Islam. Prinsip dasar zakat adalah memberikan manfaat langsung kepada mustahiq (penerima zakat) sesuai dengan delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, menginvestasikan dana zakat dianggap tidak tepat dengan beberapa alasan berikut:Â
1. Zakat Adalah Amanah yang Harus Segera Disalurkan
Dana zakat merupakan amanah yang harus disalurkan sesegera mungkin kepada mustahiq tanpa penundaan. Hal ini sesuai dengan prinsip fauriyyah dalam syariat Islam yang mengutamakan manfaat langsung. Jika dana zakat diinvestasikan, maka distribusinya akan tertunda, sehingga melenceng dari tujuan utama zakat.
Kewajiban bagi Amil
Amil (pengelola zakat) memiliki kewajiban untuk segera menyalurkan dana zakat kepada mustahiq. Penundaan penyaluran dana zakat tidak hanya bertentangan dengan prinsip syariah, tetapi juga menunjukkan ketidakmampuan lembaga zakat dalam memenuhi tugasnya.ÂTingginya Angka Kemiskinan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023, tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan angka 9,36% dari total populasi. Meski angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya, jumlah ini masih menggambarkan jutaan masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data tersebut, kebutuhan mustahiq terbilang masih sangat mendesak, sehingga istilah "dana zakat yang ditangguhkan" seharusnya tidak ada karena zakat bertujuan untuk mengatasi masalah kemiskinan secara langsung.Â
2. Risiko Penundaan Manfaat Zakat, Konflik Amanah, dan Penyalahgunaan Dana ZakatÂ
Zakat adalah amanah yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Amil (pengelola zakat) memiliki tugas untuk mendistribusikan zakat kepada mustahiq sesuai dengan ketentuan syariah. Ketika dana zakat digunakan untuk investasi, ini dapat menyebabkan manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh mustahiq sampai hasil investasi tersebut terwujud. Selain itu, hal ini dapat menciptakan konflik amanah karena pada dasarnya, dana zakat bukan milik amil atau lembaga zakat untuk dikelola dengan cara yang tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Lebih jauh lagi, penundaan distribusi dana zakat dapat membuka celah bagi penyalahgunaan, karena dana yang tidak segera disalurkan bisa saja digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat.Â
3. Risiko Kerugian dalam Investasi
Dana zakat yang diinvestasikan juga berisiko mengalami kerugian. Investasi, apapun bentuknya, pasti memiliki risiko. Jika dana zakat diinvestasikan dan kemudian mengalami kerugian, maka nilai zakat yang seharusnya menjadi hak mustahiq bisa berkurang atau bahkan hilang. Hal ini sangat merugikan mustahiq yang membutuhkan zakat secara langsung, karena mereka tidak hanya tidak menerima bantuan tepat waktu, tetapi juga mungkin tidak menerima jumlah yang semestinya karena kerugian investasi.
4. Sulit Memenuhi Syarat Investasi Dana Zakat
Di Indonesia, praktik investasi dana zakat sulit memenuhi semua syarat yang berlaku. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2003, misalnya, mengatur bahwa investasi dana zakat hanya diperbolehkan jika tidak ada fakir miskin yang membutuhkan bantuan mendesak, dan investasi dilakukan pada usaha yang sesuai syariah dengan pengawasan profesional. Namun, dalam kenyataannya, banyak lembaga zakat masih beroperasi secara pasif dan belum maksimal dalam menyalurkan dana zakat. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka kemiskinan dan rendahnya dampak nyata zakat dalam memberdayakan mustahiq. Beberapa lembaga zakat cenderung hanya fokus pada pengumpulan dana tanpa strategi distribusi yang terarah dan efektif. Padahal, tujuan utama zakat adalah memberikan manfaat langsung kepada mustahiq sesuai dengan prinsip fauriyyah (segera).Â
5. Ketiadaan Pedoman Akuntansi KhususÂ
PSAK 409 yang mengatur pencatatan zakat, infak, dan sedekah, hingga saat ini belum mencakup pengakuan, pencatatan, dan pelaporan secara khusus terkait dana zakat yang ditangguhkan atau diinvestasikan. Ketidakhadiran pedoman akuntansi ini menimbulkan celah dalam transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat oleh lembaga amil. Jika secara fatwa investasi dana zakat diperbolehkan dalam kondisi tertentu, maka seharusnya disusun pedoman akuntansi yang detail untuk memastikan bahwa pengelolaannya dapat diaudit secara transparan, tidak menyimpang dari prinsip syariah, serta memberikan informasi yang jelas kepada muzakki dan masyarakat luas. Dengan adanya pedoman yang rinci, risiko penyalahgunaan dana zakat dapat diminimalkan, dan kepercayaan terhadap lembaga zakat pun dapat ditingkatkan.
VI. Solusi/Rekomendasi
Untuk mengatasi permasalahan terkait pengelolaan dana zakat, berikut adalah beberapa rekomendasi utama yang dapat diterapkan:
1. Fokus pada Distribusi Langsung
Dana zakat harus disalurkan langsung kepada mustahiq sesuai dengan prinsip fauriyyah (segera) yang diamanatkan syariat. Penyaluran langsung ini bertujuan agar manfaat zakat dapat dirasakan segera oleh mereka yang membutuhkan, terutama golongan fakir miskin. Mengingat tingginya angka kemiskinan di Indonesia, penyaluran dana zakat secara tepat waktu dapat membantu mengurangi kesenjangan sosial dan memenuhi kebutuhan dasar mustahiq. Lembaga amil zakat perlu memastikan bahwa setiap dana zakat yang diterima langsung diarahkan kepada delapan asnaf yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an. Melalui distribusi langsung, dana zakat dapat memberikan dampak signifikan seperti peningkatan kesejahteraan mustahiq, pemenuhan kebutuhan mendesak, dan penciptaan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga sesuai dengan esensi zakat sebagai ibadah yang memberikan solusi konkret terhadap permasalahan sosial.
2. Optimalisasi Dana Sosial Lainnya
Jika ada kebutuhan untuk memberdayakan ekonomi umat melalui investasi, dana zakat bukanlah instrumen yang tepat. Sebagai gantinya, lembaga amil zakat dapat memanfaatkan sumber dana sosial lainnya, seperti wakaf produktif, infak, atau sedekah. Dana ini memiliki fleksibilitas lebih besar dibandingkan zakat, sehingga dapat digunakan untuk tujuan investasi yang menghasilkan keuntungan jangka panjang tanpa melanggar prinsip syariah. Wakaf produktif, misalnya, dapat diinvestasikan dalam bentuk pembangunan aset produktif seperti rumah sakit, sekolah, atau usaha kecil yang memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat. Hasil dari investasi ini kemudian dapat digunakan untuk mendukung program pemberdayaan ekonomi umat, tanpa mengorbankan hak mustahiq dari dana zakat.
3. Peningkatan Akuntabilitas Lembaga Zakat
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana. Oleh karena itu, lembaga amil zakat perlu meningkatkan kualitas laporan keuangan dan operasional mereka agar memastikan bahwa pengelolaan dana zakat dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan standar akuntansi yang berlaku. Transparansi dapat ditingkatkan dengan menyusun laporan yang mencantumkan rincian penerimaan dan penyaluran dana, termasuk jumlah mustahiq yang telah menerima manfaat. Selain itu, audit independen secara berkala juga diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada penyelewengan dana zakat. Dengan menjaga akuntabilitas, lembaga zakat dapat memperkuat kepercayaan muzakki (pemberi zakat) dan masyarakat luas. Hal ini akan mendorong peningkatan partisipasi dalam pembayaran zakat, yang pada akhirnya dapat membantu memaksimalkan dampak sosial zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat.Â
Solusi-solusi ini tidak hanya memperkuat pengelolaan zakat sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial umat Islam.
Daftar Pustaka
Aibak, K. (2015). Zakat dalam Perspektif Maqashid al-Syariah. AHKAM, 3(2), 199-218.
Chusna, R. (2022). Investasi Syariah Menuju Perekonomian yang Maju. [Skripsi, Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung]
Hafiduddin, D. (2002). Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasbi as-Shidieqy, T. M. (1996). Pedoman Zakat. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). (2010). SAK Syariah 409: Akuntansi Zakat, Infak, dan Sedekah. Diakses pada 26 Desember 2024, dari https://mobile-api.iaiglobal.or.id/Register Â
Majelis Ulama Indonesia. (2003). Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Penggunaan Dana Zakat untuk Istitsmar (Investasi). Diakses dari https://mui.or.id
Marseli, A., & Zainuddin. (2020). Investasi Dana Zakat Sebelum Didistribusikan kepada Mustahik dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah. Jurnal Syarikah, 6(2), Desember.
Media Indonesia. (2024, Oktober 17). Tingkat kemiskinan di Indonesia dan dunia: Tantangan dan upaya mengatasinya. Diakses pada 26 Desember 2024, dari https://mediaindonesia.com/humaniora/709910/tingkat-kemiskinan-di-indonesia-dan-dunia-tantangan-dan-upaya-mengatasinya#google_vignette
Siswati. (2024). Investasi Dana Zakat Perspektif Ulama dan Penerapannya di Indonesia menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 4 Tahun 2003 tentang Penggunaan Dana Zakat untuk Istitsmar (Investasi). [Skripsi, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember].
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI