Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023, tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan angka 9,36% dari total populasi. Meski angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya, jumlah ini masih menggambarkan jutaan masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data tersebut, kebutuhan mustahiq terbilang masih sangat mendesak, sehingga istilah "dana zakat yang ditangguhkan" seharusnya tidak ada karena zakat bertujuan untuk mengatasi masalah kemiskinan secara langsung.Â
2. Risiko Penundaan Manfaat Zakat, Konflik Amanah, dan Penyalahgunaan Dana ZakatÂ
Zakat adalah amanah yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Amil (pengelola zakat) memiliki tugas untuk mendistribusikan zakat kepada mustahiq sesuai dengan ketentuan syariah. Ketika dana zakat digunakan untuk investasi, ini dapat menyebabkan manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh mustahiq sampai hasil investasi tersebut terwujud. Selain itu, hal ini dapat menciptakan konflik amanah karena pada dasarnya, dana zakat bukan milik amil atau lembaga zakat untuk dikelola dengan cara yang tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Lebih jauh lagi, penundaan distribusi dana zakat dapat membuka celah bagi penyalahgunaan, karena dana yang tidak segera disalurkan bisa saja digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat.Â
3. Risiko Kerugian dalam Investasi
Dana zakat yang diinvestasikan juga berisiko mengalami kerugian. Investasi, apapun bentuknya, pasti memiliki risiko. Jika dana zakat diinvestasikan dan kemudian mengalami kerugian, maka nilai zakat yang seharusnya menjadi hak mustahiq bisa berkurang atau bahkan hilang. Hal ini sangat merugikan mustahiq yang membutuhkan zakat secara langsung, karena mereka tidak hanya tidak menerima bantuan tepat waktu, tetapi juga mungkin tidak menerima jumlah yang semestinya karena kerugian investasi.
4. Sulit Memenuhi Syarat Investasi Dana Zakat
Di Indonesia, praktik investasi dana zakat sulit memenuhi semua syarat yang berlaku. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2003, misalnya, mengatur bahwa investasi dana zakat hanya diperbolehkan jika tidak ada fakir miskin yang membutuhkan bantuan mendesak, dan investasi dilakukan pada usaha yang sesuai syariah dengan pengawasan profesional. Namun, dalam kenyataannya, banyak lembaga zakat masih beroperasi secara pasif dan belum maksimal dalam menyalurkan dana zakat. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka kemiskinan dan rendahnya dampak nyata zakat dalam memberdayakan mustahiq. Beberapa lembaga zakat cenderung hanya fokus pada pengumpulan dana tanpa strategi distribusi yang terarah dan efektif. Padahal, tujuan utama zakat adalah memberikan manfaat langsung kepada mustahiq sesuai dengan prinsip fauriyyah (segera).Â
5. Ketiadaan Pedoman Akuntansi KhususÂ
PSAK 409 yang mengatur pencatatan zakat, infak, dan sedekah, hingga saat ini belum mencakup pengakuan, pencatatan, dan pelaporan secara khusus terkait dana zakat yang ditangguhkan atau diinvestasikan. Ketidakhadiran pedoman akuntansi ini menimbulkan celah dalam transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat oleh lembaga amil. Jika secara fatwa investasi dana zakat diperbolehkan dalam kondisi tertentu, maka seharusnya disusun pedoman akuntansi yang detail untuk memastikan bahwa pengelolaannya dapat diaudit secara transparan, tidak menyimpang dari prinsip syariah, serta memberikan informasi yang jelas kepada muzakki dan masyarakat luas. Dengan adanya pedoman yang rinci, risiko penyalahgunaan dana zakat dapat diminimalkan, dan kepercayaan terhadap lembaga zakat pun dapat ditingkatkan.
VI. Solusi/Rekomendasi
Untuk mengatasi permasalahan terkait pengelolaan dana zakat, berikut adalah beberapa rekomendasi utama yang dapat diterapkan: