Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Dosa Turunan [Detektif Kilesa]

24 Desember 2021   08:57 Diperbarui: 24 Desember 2021   09:05 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dosa Turunan (sumber: cnnindonesia.com)

KASUS DOSA TURUNAN

Pk 14.30.

Aku dan Charles turun di depan sebuah rumah yang tidak besar -- besar amat, namun memiliki suasana tenang karena berada di dalam sebuah komplek. Sedari awal kami mendengar latar belakang kasus ini di kantor ini tadi, kami yakin bahwa kasus ini sebenarnya tidak ditujukan untuk divisi detektif. Namun Mahmud sebagai ketua tim forensik bersikeras agar aku dan Charles datang ke lokasi TKP. Karena kami pun sedang lowong, maka aku menyanggupi. Dan orang yang meminta sudah menunggu di depan rumah.

"Selamat siang, Mahmud, semoga kau tidak menyusahkan kami dengan kasus yang aneh -- aneh lagi." ujarku menyapa sang ketua forensik.

Mahmud hanya menyunggingkan senyum, "Bukan salahku, Kilesa, jika kasus aneh selalu mengejarmu. Salahkanlah semesta ini. Tapi, kau benar. Kau tentu sudah mendapat briefing dari kantor polisi. Tidak ada yang aneh dari kasus ini. Korban bernama Thomas Wijaya, seorang kakek berusia 70 tahun, meninggal karena sakit jantung koroner yang sudah dideritanya selama setahun ini. Menurut pemeriksaanku, ia meninggal dengan tenang tadi malam di tempat tidur tanpa adanya faktor dari luar, seperti kolesterol, obat, stress, dan lain -- lain."

"Lalu?"

Lagi -- lagi Mahmud menyunggingkan senyum. "Tunggu sampai kita masuk ke dalam. Inilah mengapa aku membutuhkanmu untuk mengetahui apakah kasus ini layak ditangani detektif atau tidak. Kalian pasti suka mendengarnya."

Aku bertatap -- tatapan dengan Charles ketika Mahmud menuntun kami masuk ke dalam rumah. Ia berbisik, "Kasus aneh lagi, Kilesa. Bersiap -- siaplah."

"Aku tidak suka ini."

Kami memasuki pekarangan rumah yang ternyata cukup luas di dalam pagar. Halaman yang lebih besar daripada rumah yang mungil di tengah -- tengah membuat keseluruhannya terasa lowong dan lega. Dibalik kasus yang akan kami hadapi, kalau boleh jujur aku menyukai rumah seperti ini. Namun ketika membuka pintu, suara orang berteriak memecah ketenangan dan kedamaian yang kami rasakan.

"Omong kosong, Sukma, ayah tidak mungkin mati karena sakit jantung biasa! Kau tahu apa yang ia lakukan. Ia sudah menjual harga dirinya, dan mendapatkan kekayaan sebagai gantinya! Juga nyawanya! Sekarang ia sedang membusuk di alam neraka!"

"Jaga omonganmu, Katrin, ayah bukan orang seperti itu! Dan tolong hormati ayahmu. Apakah kau mendoakan ia memang benar -- benar membusuk di neraka? Sungguh seorang anak yang tidak berbakti kepada orang tua!"

Dua wanita paruh baya yang bertengkar menjadi pemandangan kami ketika memasuki rumah minimalis itu. Keduanya berada di tengah, dengan telunjuk teracung di udara, dan di belakang, dengan sofa yang mengelilingi ruangan, telah duduk tiga pria. Kalau bisa kutebak, dua orang merupakan suami dari wanita -- wanita ini, dan satu adalah saudara kandung keduanya. Dan orang inilah yang menengahi keduanya.

"Perhatikan tingkah laku kalian, Sukma, Katrin. Pak polisi telah tiba, dan jangan permalukan ayah kita di depan orang lain."

Perlahan -- lahan Sukma dan Katrin mereda, namun Sukma masih sempat melempar cemoohan. "Yang kami butuhkan adalah notaris, bukan polisi tambahan. Sayang sekali bapak polisi yang berkulit gelap ini tidak punya telinga."

Aku tahu ia merujuk pada Mahmud, dan aku saling berpandangan dengan kedua kolegaku. Namun arti pandanganku lebih ke arah Sukma yang meminta notaris. Aku sudah paham. Ini adalah masalah pertengkaran warisan. Jadi untuk apa kami berada di sini?

Atau mungkin Thomas dilenyapkan karena masalah warisan?

Mahmud menuntun kami untuk duduk di sofa. Seorang bocah kemudian datang dan melayani, menyajikan minuman ke atas meja. Aku menatap ke sekeliling dan menyadari bahwa isi rumah itu pun minimalis. Hanya ada satu dua buah lukisan, sebuah patung keramik, dan beberapa ornamen hias gantung. Ruangan samping pun hanya terdiri dari satu atau dua buah.

Mahmud lalu mengambil alih pembicaraan, memberikan penjelasan kepada kami.

"Tuan Thomas Wijaya telah mangkat di hari Sabtu, pagi tadi pada pukul 1.30 dengan sakit jantung koroner yang telah dideritanya selama setahun ini. Tidak ada komplikasi dalam, tidak faktor dari luar seperti stress atau cedera luar, yang mempengaruhi kematian tuan Thomas. Sebenarnya jasadnya hanya perlu dibawa menuju rumah sakit, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, lalu layak untuk dikuburkan..."

"Tunggu dulu, tuan polisi, kamilah yang berhak memberikan ijin kepada polisi untuk membawanya menuju rumah sakit. Saat ini, kami belum memberikan ijin."

Katrin menjawab dengan dagu yang terangkat, menandakan keangkuhan di dalam dirinya. Namun saudarinya tidak tinggal diam. Sepertinya mereka memang hobi bertengkar.

"Lalu kau mau apa, adikku tersayang? Membiarkannya membusuk di rumah ini? Cepat atau lambat tubuhnya akan membusuk." jawab Sukma.

Tangan lagi -- lagi teracung, "Kau tidak mengenal ayahmu maka kau berkata seperti itu, Katrin! Kau tidak tahu apa yang ia lakukan semasa hidupnya. Jika kita membiarkannya menuju alam baka tanpa menyelesaikan dosa turunan, kita pun akan bermasalah."

Dosa turunan?

Sukma mencemooh, "Lanjutkanlah fantasimu, Katrin. Omong kosong yang selalu kau ucapkan jika kita berbicara tentang ayah. Selama aku datang ke sini, tidak pernah aku melihatnya melakukan sesuatu yang aneh -- aneh."

"Oleh karena itu aku mengatakan, kau tidak kenal ayahmu!"

Sukma yang mulai berdiri membuat pria yang tadi menengahi kembali menengahi keduanya. Sukma dan Katrin akhirnya terdiam dan mendengus, sebuah keluhan yang terdengar di telingaku. Sementara itu sang pria menghela napas sebelum memberikan penjelasan.

"Maafkan keluargaku, pak polisi. Namaku adalah Antoni Wijaya, cukup dipanggil Toni. Aku adalah anak pertama Thomas Wijaya, sedangkan adikku Sukma, dan yang paling bungsu adalah Katrin. Perkenalkan juga suami dari Sukma, Herman Subroto, dan suami dari Katrin, Paul Benny."

Melihat Toni sedikit kebingungan untuk melanjutkan, aku memancing, "Bagaimana penjelasannya dengan dosa turunan yang disebutkan oleh Katrin?"

Lagi -- lagi Toni menghela napas sebelum menjawab, dan bahkan Katrin memotong, "Pak polisi tidak perlu tahu, kami sulit menjelaskan. Pokoknya kami minta waktu untuk menyelesaikan masalah internal keluarga kami sebelum jasad ayah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh rumah sakit."

"Kau hanya tidak ingin ayah dikuburkan, Katrin. Omong kosong."

"Dan kau hanya ingin warisan ayahmu, Sukma. Mengapa kau meminta kehadiran notaris? Kaulah omong kosong terbesar di keluarga ini. Kau dan Herman si dungu itu."

Kali ini bukan hanya Sukma yang berdiri, melainkan Herman. Toni harus menyorongkan tangan untuk melerai kedua pihak. Setelah semuanya diam, ia kembali kepada penjelasannya.

"Begini, pak polisi. Kedua adikku sebenarnya tidak tinggal serumah dengan ayah. Rumah mereka berada di luar kota, sedangkan aku tinggal dengannya, jadi biar aku yang menjelaskan. Profesi ayah adalah pebisnis, dan dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang pebisnis kelas menengah, tidak gagal -- gagal amat, tidak sukses juga. Bidangnya adalah jual beli tanah, dan ia senang membeli rumah -- rumah yang unik dan asri, dapat dilihat mengapa ia senang tinggal di rumah ini."

"Suatu ketika sepuluh tahun yang lalu, usahanya mandek. Sedangkan kami butuh banyak biaya. Aku dan Sukma butuh uang kuliah, sedangkan Katrin untuk sekolah. Kami pun tahu bahwa ayah berada dalam kondisi sulit. Namun tiba -- tiba semuanya bisa terpenuhi, bahkan berkelimpahan. Aku ingat bahwa ayah mengajak kami jalan -- jalan keluar kota. Aku yang belum mengerti saat itu tidak menelisik lebih lanjut."

"Namun beberapa tahun kemudian datang seseorang ke rumah dan bertemu dengan ayah. Orang ini masuk ke dalam ruangan dengan ayah, berbicara empat mata. Setelahnya ia pulang dan kita tidak pernah bertemu dengannya lagi. Namun setelahnya ayah berubah. Wajahnya murung. Sifatnya yang dulu periang menjadi pesakitan. Pak polisi mengatakan tidak ada komplikasi namun aku menyangsikan hal itu. Ayah memiliki banyak penyakit."

"Di rumah pun, ia banyak berbaring di tempat tidur. Pandangannya menatap ke langit -- langit. Ketika kutanya ada apa, ia selalu menjawab tidak apa -- apa, dan tersenyum. Akulah yang bertugas merawatnya dan mencari nafkah. Itulah yang membuat Katrin, adikku ini berteori bahwa ayah sudah melakukan kesalahan di masa lalu, yang membuat ia tidak tenang semasa hidupnya. Sedangkan Sukma..."

"Hanya bertujuan untuk mengincar warisannya saja." tambah Katrin, namun sepertinya Sukma sudah enggan untuk meladeni adiknya itu, karena ia hanya terdiam mendengar penjelasan Toni. Ia bahkan mulai berkata pada kami.

"Bukannya aku anak kurang ajar, pak polisi, tapi aku sendiri memang sedang mengalami masalah finansial. Tentang ayah, aku bisa mengatakan kesaksian Toni adalah benar adanya. Sejak kedatangan orang itu, ayah memang berubah. Rumah ini menjadi suram. Oleh karena itu aku berencana untuk menjualnya. Sedangkan adikku ini, hanya sayang kepada nyawanya sendiri. Ia berpikir bahwa ayah sudah menjalin kontrak dengan ilmu hitam."

Tangan kembali teracung. "Bagaimana jika aku benar? Hidup kita semua berada dalam bahaya! Jika kalian berpikir bahwa aku gila, maka jabarkan deskripsi orang asing itu kepada polisi. Sekarang!"

Toni dan Katrin terdiam dan menunduk. Perlahan Toni berkata, "Orang aneh itu berpakaian layaknya petani dari kampung, sangat kumal, bahkan seperti terlihat baru pulang dari sawah. Ia memanggul sesuatu, sebuah kantong, tapi kami tidak tahu itu apa. Wajahnya ramah, namun kami merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi apa pun itu, sudah terjadi bertahun -- tahun yang lalu, ingatan kami pun sudah tidak jelas."

Semuanya terdiam dan merenung. Ada hawa dingin yang merebak di tengah -- tengah ruangan. Aku tidak suka terjebak dalam suasana ini. Berpandang -- pandangan dengan Mahmud, aku masih bertanya -- tanya apakah kasus ini layak ditangani oleh seorang detektif. Namun sebuah suara menyela di tengah keheningan.

"Tunggu dulu, orang aneh itu berpakaian seperti petani, pastinya memakai topi caping. Apakah ia mengenakan sarung bermotif pohon cemara?" tanya Paul.

Toni mengangguk dengan cepat. Paul berkata lagi, "Aku melihatnya di jalan seminggu yang lalu. Aku melihatnya di jalan samping kompleks ini. Ia berhenti di pinggir jalan dan sedang membereskan panggulannya. Ia mengeluarkan..."

Paul berhenti tiba -- tiba, seperti menyadari sesuatu. Katrin yang tidak sabar mendesaknya. "Mengeluarkan pisau dan golok."

Katrin marah, "Mengapa kau tidak melapor polisi?"

Paul berbalik marah, "Apa salahnya mengeluarkan pisau dan golok? Kuli di pinggir jalan yang menunggu panggilan pasti memiliki persediaan pisau dan golok. Koki pun memilikinya. Jadi tidak ada yang aneh dengan itu."

Argumennya benar. Sementara itu Sukma berbalik kepada polisi, "Apakah kematian ayah benar -- benar karena sakit jantung? Tidak ada penyebab lain?"

Sebenarnya aku tahu pemeriksaan awal Mahmud selalu tepat, namun ia menjawab lain. "Semua tidak akan diketahui selain dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit. Namun, seperti yang kita tahu, ada yang menghalangi untuk membawa tubuh Thomas Wijaya menuju ruang autopsi."

Semua mata tertuju pada Katrin dan suaminya. Namun sebuah suara lagi -- lagi menyergah. Herman, suami dari Sukma, bersuara.

"Sayang sekali, pak polisi, saudara -- saudara sekalian. Namun aku setuju dengan Katrin dan Paul. Semuanya ini terlalu aneh. Kematian mendadak tuan Thomas, lalu kemunculan pria aneh berpakaian petani, perilaku tuan Thomas yang berubah, semuanya tidak bisa dijelaskan. Lebih baik kita bereskan dahulu masalah ini sebelum ia diperiksa di rumah sakit. Aku yakin masih cukup waktu."

Cukup waktu? Apa maksudnya? Namun Charles mengambil alih sebelum aku sempat bersuara. "Mengenai perilaku tuan Thomas, adakah perubahan mendadak selama seminggu terakhir? Jika Paul mengatakan bahwa ia melihat pria petani itu seminggu yang lalu, mungkin ia menemui tuan Thomas, dan melakukan sesuatu."

Pertanyaan itu tentu ditanyakan kepada Toni yang tinggal serumah dengan pemilik rumah, namun Herman yang lagi -- lagi menjawab.

"Kami sebenarnya berada di rumah ini selama dua minggu terakhir, pak polisi. Aku dan istriku. Kami sedang berlibur akhir tahun, juga sebenarnya aku ingin mencari suasana baru, jadi Sukma memberikan usul mengapa tidak tinggal di rumah ayahnya sekalian? Dan mengenai perubahan perilaku tuan Thomas, aku pribadi tidak merasakan sesuatu yang aneh. Maksudku, ia memang, maaf, sudah seperti itu ketika aku mengenalnya. Tertutup, tidak suka berinteraksi dengan yang lain, sering memberikan pandangan kosong, seperti itu."

"Well, sudah kukatakan sifat ayah berubah beberapa tahun terakhir." Toni menguatkan.

"Tapi ada suatu tindakan yang benar -- benar berada di luar nalar dalam seminggu terakhir ini, Toni, dan itulah yang membuatku ketakutan." tambah Katrin.

"Apa itu?"

"Dalam suatu hari, aku lupa hari apa itu, mungkin Rabu atau Kamis, ia benar -- benar seharian tidak keluar kamar. Ketika aku membuka sedikit pintunya, aku benar -- benar terkejut. Ia sedang melakukan semedi di lantai, di samping tempat tidur. Matanya terpejam, tangannya menguncup di atas lutut. Aku ulangi, aku terkejut. Karena itu aku tidak berani mengganggunya. Dan besoknya ia sudah berlaku seperti biasa lagi. Namun siapa yang sangka, ia ternyata meninggalkan kita semua malam tadi. Ah, seandainya aku tahu ia memiliki masalah berat, aku akan bertanya padanya."

Aku melihat Katrin mulai menitikkan air mata. Di balik sifatnya yang temperamental, ia sebenarnya menyayangi orang tuanya. Dan kasus ini...

"Oleh karena itu, tuan dan nyonya, adalah lebih baik jika kita melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada tuan Thomas, apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhnya. Aku benci mengatakan hal ini, namun penyebab perubahan perilaku tuan Thomas telah terjadi di masa lalu. Apa pun yang kita lakukan hari ini, tidak akan mengubah masa depan."

"Apakah tuan polisi tidak takut dengan hal gaib yang akan menimpa kami kelak? Bagaimana jika ayah melakukan kesalahan di masa lalu, dan akan berakibat buruk kepada kami di hari depan?"

Aku mendesah, "Semuanya itu tidak akan terjadi, nyonya Katrin."

"Tolonglah, tuan polisi, kami benar -- benar ketakutan dengan hal ini. Setidaknya ada dua orang yang setuju denganku: suamiku dan iparku. Tinggalkan saja kedua kakakku yang dungu ini. Berikanlah waktu bagi kami sehari lagi untuk berdiskusi."

Aku menggaruk kepala tanda tidak setuju. Namun Mahmud memberi tanda padaku bahwa semuanya masih dalam batas toleransi. Akhirnya aku mengalah.

"Baiklah, kalau begitu, aku setuju. Kita kembali lagi esok hari, dengan harapan kami bisa membawa tubuh tuan Thomas Wijaya menuju rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Para anggota keluarga pun saling mengangguk. Akhirnya kami pun mohon diri dari ruangan itu dan menuju pintu keluar. Belum kami sempat menutup pintu, suara argumen kembali terdengar dari dalam. Namun aku tidak ingin ambil pusing. Kami pun menyusuri jalan taman untuk keluar dari pekarangan. Charles menyeletuk.

"Sayang sekali, rumah seasri ini mengandung kebusukan di dalamnya."

"Apa maksudmu, Charles? Aku tidak tahu bahwa kau bisa berpuisi."

"Maksudku, benar -- benar ada mayat busuk, bukan, di dalamnya? Dalam waktu dua hari, pemeriksaan autopsi tidak akan berlaku lagi. Aku bahkan kaget mengapa kau setuju dengan usul Katrin, Kilesa."

"Aku setuju, agar kita bisa keluar dari rumah ini. Kita harus memanggil kesatuan."

Charles mengernyit, "Apa maksudmu, Kilesa? Jangan katakan bahwa tuan Thomas telah dibunuh, dan kau sudah tahu pelakunya."

Aku hanya menyunggingkan senyum. "Kita bertiga tidak akan sanggup, oleh karena itu kita harus memanggil kesatuan." Aku menoleh kepada Mahmud, "Kau benar, Mahmud, ini merupakan kasus kriminal."

"Seperti dugaanku, Kilesa. Jadi bagaimana sekarang? Perlukah aku memasang garis kuning di depan pagar ini?"

"Agar pelakunya tidak keluar? Ya, Mahmud, pasang saja."

Kasus lain dapat dilihat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun