"Kami sebenarnya berada di rumah ini selama dua minggu terakhir, pak polisi. Aku dan istriku. Kami sedang berlibur akhir tahun, juga sebenarnya aku ingin mencari suasana baru, jadi Sukma memberikan usul mengapa tidak tinggal di rumah ayahnya sekalian? Dan mengenai perubahan perilaku tuan Thomas, aku pribadi tidak merasakan sesuatu yang aneh. Maksudku, ia memang, maaf, sudah seperti itu ketika aku mengenalnya. Tertutup, tidak suka berinteraksi dengan yang lain, sering memberikan pandangan kosong, seperti itu."
"Well, sudah kukatakan sifat ayah berubah beberapa tahun terakhir." Toni menguatkan.
"Tapi ada suatu tindakan yang benar -- benar berada di luar nalar dalam seminggu terakhir ini, Toni, dan itulah yang membuatku ketakutan." tambah Katrin.
"Apa itu?"
"Dalam suatu hari, aku lupa hari apa itu, mungkin Rabu atau Kamis, ia benar -- benar seharian tidak keluar kamar. Ketika aku membuka sedikit pintunya, aku benar -- benar terkejut. Ia sedang melakukan semedi di lantai, di samping tempat tidur. Matanya terpejam, tangannya menguncup di atas lutut. Aku ulangi, aku terkejut. Karena itu aku tidak berani mengganggunya. Dan besoknya ia sudah berlaku seperti biasa lagi. Namun siapa yang sangka, ia ternyata meninggalkan kita semua malam tadi. Ah, seandainya aku tahu ia memiliki masalah berat, aku akan bertanya padanya."
Aku melihat Katrin mulai menitikkan air mata. Di balik sifatnya yang temperamental, ia sebenarnya menyayangi orang tuanya. Dan kasus ini...
"Oleh karena itu, tuan dan nyonya, adalah lebih baik jika kita melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada tuan Thomas, apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhnya. Aku benci mengatakan hal ini, namun penyebab perubahan perilaku tuan Thomas telah terjadi di masa lalu. Apa pun yang kita lakukan hari ini, tidak akan mengubah masa depan."
"Apakah tuan polisi tidak takut dengan hal gaib yang akan menimpa kami kelak? Bagaimana jika ayah melakukan kesalahan di masa lalu, dan akan berakibat buruk kepada kami di hari depan?"
Aku mendesah, "Semuanya itu tidak akan terjadi, nyonya Katrin."
"Tolonglah, tuan polisi, kami benar -- benar ketakutan dengan hal ini. Setidaknya ada dua orang yang setuju denganku: suamiku dan iparku. Tinggalkan saja kedua kakakku yang dungu ini. Berikanlah waktu bagi kami sehari lagi untuk berdiskusi."
Aku menggaruk kepala tanda tidak setuju. Namun Mahmud memberi tanda padaku bahwa semuanya masih dalam batas toleransi. Akhirnya aku mengalah.