"Dan kau hanya ingin warisan ayahmu, Sukma. Mengapa kau meminta kehadiran notaris? Kaulah omong kosong terbesar di keluarga ini. Kau dan Herman si dungu itu."
Kali ini bukan hanya Sukma yang berdiri, melainkan Herman. Toni harus menyorongkan tangan untuk melerai kedua pihak. Setelah semuanya diam, ia kembali kepada penjelasannya.
"Begini, pak polisi. Kedua adikku sebenarnya tidak tinggal serumah dengan ayah. Rumah mereka berada di luar kota, sedangkan aku tinggal dengannya, jadi biar aku yang menjelaskan. Profesi ayah adalah pebisnis, dan dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang pebisnis kelas menengah, tidak gagal -- gagal amat, tidak sukses juga. Bidangnya adalah jual beli tanah, dan ia senang membeli rumah -- rumah yang unik dan asri, dapat dilihat mengapa ia senang tinggal di rumah ini."
"Suatu ketika sepuluh tahun yang lalu, usahanya mandek. Sedangkan kami butuh banyak biaya. Aku dan Sukma butuh uang kuliah, sedangkan Katrin untuk sekolah. Kami pun tahu bahwa ayah berada dalam kondisi sulit. Namun tiba -- tiba semuanya bisa terpenuhi, bahkan berkelimpahan. Aku ingat bahwa ayah mengajak kami jalan -- jalan keluar kota. Aku yang belum mengerti saat itu tidak menelisik lebih lanjut."
"Namun beberapa tahun kemudian datang seseorang ke rumah dan bertemu dengan ayah. Orang ini masuk ke dalam ruangan dengan ayah, berbicara empat mata. Setelahnya ia pulang dan kita tidak pernah bertemu dengannya lagi. Namun setelahnya ayah berubah. Wajahnya murung. Sifatnya yang dulu periang menjadi pesakitan. Pak polisi mengatakan tidak ada komplikasi namun aku menyangsikan hal itu. Ayah memiliki banyak penyakit."
"Di rumah pun, ia banyak berbaring di tempat tidur. Pandangannya menatap ke langit -- langit. Ketika kutanya ada apa, ia selalu menjawab tidak apa -- apa, dan tersenyum. Akulah yang bertugas merawatnya dan mencari nafkah. Itulah yang membuat Katrin, adikku ini berteori bahwa ayah sudah melakukan kesalahan di masa lalu, yang membuat ia tidak tenang semasa hidupnya. Sedangkan Sukma..."
"Hanya bertujuan untuk mengincar warisannya saja." tambah Katrin, namun sepertinya Sukma sudah enggan untuk meladeni adiknya itu, karena ia hanya terdiam mendengar penjelasan Toni. Ia bahkan mulai berkata pada kami.
"Bukannya aku anak kurang ajar, pak polisi, tapi aku sendiri memang sedang mengalami masalah finansial. Tentang ayah, aku bisa mengatakan kesaksian Toni adalah benar adanya. Sejak kedatangan orang itu, ayah memang berubah. Rumah ini menjadi suram. Oleh karena itu aku berencana untuk menjualnya. Sedangkan adikku ini, hanya sayang kepada nyawanya sendiri. Ia berpikir bahwa ayah sudah menjalin kontrak dengan ilmu hitam."
Tangan kembali teracung. "Bagaimana jika aku benar? Hidup kita semua berada dalam bahaya! Jika kalian berpikir bahwa aku gila, maka jabarkan deskripsi orang asing itu kepada polisi. Sekarang!"
Toni dan Katrin terdiam dan menunduk. Perlahan Toni berkata, "Orang aneh itu berpakaian layaknya petani dari kampung, sangat kumal, bahkan seperti terlihat baru pulang dari sawah. Ia memanggul sesuatu, sebuah kantong, tapi kami tidak tahu itu apa. Wajahnya ramah, namun kami merasa ada sesuatu yang aneh. Tapi apa pun itu, sudah terjadi bertahun -- tahun yang lalu, ingatan kami pun sudah tidak jelas."
Semuanya terdiam dan merenung. Ada hawa dingin yang merebak di tengah -- tengah ruangan. Aku tidak suka terjebak dalam suasana ini. Berpandang -- pandangan dengan Mahmud, aku masih bertanya -- tanya apakah kasus ini layak ditangani oleh seorang detektif. Namun sebuah suara menyela di tengah keheningan.