Katrin menjawab dengan dagu yang terangkat, menandakan keangkuhan di dalam dirinya. Namun saudarinya tidak tinggal diam. Sepertinya mereka memang hobi bertengkar.
"Lalu kau mau apa, adikku tersayang? Membiarkannya membusuk di rumah ini? Cepat atau lambat tubuhnya akan membusuk." jawab Sukma.
Tangan lagi -- lagi teracung, "Kau tidak mengenal ayahmu maka kau berkata seperti itu, Katrin! Kau tidak tahu apa yang ia lakukan semasa hidupnya. Jika kita membiarkannya menuju alam baka tanpa menyelesaikan dosa turunan, kita pun akan bermasalah."
Dosa turunan?
Sukma mencemooh, "Lanjutkanlah fantasimu, Katrin. Omong kosong yang selalu kau ucapkan jika kita berbicara tentang ayah. Selama aku datang ke sini, tidak pernah aku melihatnya melakukan sesuatu yang aneh -- aneh."
"Oleh karena itu aku mengatakan, kau tidak kenal ayahmu!"
Sukma yang mulai berdiri membuat pria yang tadi menengahi kembali menengahi keduanya. Sukma dan Katrin akhirnya terdiam dan mendengus, sebuah keluhan yang terdengar di telingaku. Sementara itu sang pria menghela napas sebelum memberikan penjelasan.
"Maafkan keluargaku, pak polisi. Namaku adalah Antoni Wijaya, cukup dipanggil Toni. Aku adalah anak pertama Thomas Wijaya, sedangkan adikku Sukma, dan yang paling bungsu adalah Katrin. Perkenalkan juga suami dari Sukma, Herman Subroto, dan suami dari Katrin, Paul Benny."
Melihat Toni sedikit kebingungan untuk melanjutkan, aku memancing, "Bagaimana penjelasannya dengan dosa turunan yang disebutkan oleh Katrin?"
Lagi -- lagi Toni menghela napas sebelum menjawab, dan bahkan Katrin memotong, "Pak polisi tidak perlu tahu, kami sulit menjelaskan. Pokoknya kami minta waktu untuk menyelesaikan masalah internal keluarga kami sebelum jasad ayah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh rumah sakit."
"Kau hanya tidak ingin ayah dikuburkan, Katrin. Omong kosong."