Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasus Perjamuan Terakhir [Detektif Kilesa]

3 September 2021   15:31 Diperbarui: 3 September 2021   16:02 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KASUS PERJAMUAN TERAKHIR

Pk. 08.30.

Bah!

Sekali lagi kukatakan, bah!

Sudah kubilang pada Lauren seharusnya handphoneku dimatikan saja selama kita berliburan di Pantai Senggiluk ini, tapi ia tidak setuju. Malam kemarin handphone berdering, pak bos yang menelepon. Dan ia bicara tentang kasus. Ah, sialan sekali.

Seharusnya aku sekarang sedang bersantai di balkon bungalow, menikmati air biru yang bergerak tenang ke arah pantai. Seharusnya ada sebotol cocktail di tangan kananku, juga sunscreen di sekujur tubuh, di bawah naungan payung warna -- warni di atas pasir. Tapi, dasar nasib sial. Kemana pun aku melangkah, kasus kriminal selalu mengikuti. Padahal aku berlibur untuk menenangkan pikiran setelah menangani berbagai kasus rumit.

Sebenarnya aku pun berdebat dengan pak bos malam kemarin. Kebetulan kasusnya terjadi dekat Pantai Senggiluk. Pantai ini memang dekat dengan pusat kota, yang menjadi atraksi turis dari berbagai negara. Banyak orang kaya memiliki mansion di tempat ini. Seorang konglomerat bernama Bobby Hermawan mengadakan perjamuan keluarga di mansionnya dua hari yang lalu, dan kemudian meninggal dunia akibat sakit jantung siang hari kemarin.

Sakit jantung adalah sebuah sakit yang natural. Itulah yang menjadi sumber perdebatanku dengan pak bos, juga tentang statusku yang seharusnya libur. Namun pak bos menerangkan padaku, bahwa kadar kolesterol Bobby ditemukan amat tinggi. Untuk seorang konglomerat gila sehat yang sangat menjaga kadar kolesterolnya, peningkatan ini mengundang pertanyaan. Ia bisa saja diracun, atau memakan makanan tertentu, atau berada dalam tekanan tinggi, sehingga menimbulkan sakit jantung. Butuh seorang detektif untuk menyelidiki kasus ini.

Pak bos menenangkanku bahwa yang pertama, ia akan menambah jatah liburku, yang kedua, bukan akulah detektif utama yang bertugas di kasus ini. Mereka adalah detektif setempat, yaitu James dan Jamet. Mendengar nama kedua orang itu disebut, aku semakin miris. Orang -- orang ini tidak memiliki insting detektif, apalagi kepolisian. Mereka lebih layak disebut anjing penguntit. Namun karena iba pada pak bos, akhirnya aku mengiyakan kasus ini. Lagipula ia hanya memintaku untuk mengunjungi mansion Bobby Hermawan, lalu membuat laporan.

Dan kini aku sudah berada di depan mansion itu. Sebuah mobil vw kodok berwarna hijau sudah berada di depan gerbang besi tinggi. Dua orang detektif berkumis menyapaku.

"Pagi, Kilesa. Lama sekali dirimu. Kami sudah berada di tempat ini sekitar setengah jam yang lalu."

Lalu mengapa tidak masuk saja? "Pagi, James. Inikah kediaman Bobby Hermawan? Rumah yang bagus."

Detektif yang lain melempar pandang ke arah rumah. "Benar, Kilesa. Lihatlah. Jika rumah -- rumah lain memiliki beton tinggi atau tembok tinggi, rumah ini berusaha untuk tampil natural dengan menggunakan tembok kayu semaksimal mungkin. Walaupun aku tahu sebenarnya itu hanya akal -- akalan saja, sebenarnya itu beton juga, hanya diwarnai cokelat saja."

Aku menahan napas mendengar lelucon pertama Jamet. Tidak ingin membuang -- buang waktu, kami memasuki pekarangan rumah. Tidak adanya garis kuning polisi membuatku bertanya -- tanya.

"Kematian Bobby tidak dianggap aksi kriminal, atau belum, lebih tepatnya, karena semuanya masih kemungkinan." ujar James, "Kunjungan kita pagi inilah yang akan menentukan itu. Semoga saja kematiannya memang karena proses alami, bukan pembunuhan. Nah, selamat pagi, tuan Alfred."

Seorang paruh baya berpakaian rapi menyambut kami. Ia berpenampilan sopan dan bertata krama, jelaslah bahwa ia adalah seorang pelayan. Atau mungkin seorang kepala pelayan.

"Selamat pagi tuan -- tuanku dari kepolisian. Ijinkan aku untuk memandu tuan -- tuan untuk memasuki kediaman mendiang tuan Bobby Hermawan, atau lebih tepatnya Trisna Hermawan."

"Anaknya?" tanyaku.

Alfred mengangguk, "Yang paling tua. Berdasarkan wasiat tuan Bobby yang terakhir, rumah ini menjadi miliknya."

"Apakah ia hadir di sini malam dua hari yang lalu di pesta keluarga?"

"Keempat anak Bobby Hermawan hadir beserta pasangan -- pasangannya."

Memasuki ruang tamu membuat kami cukup terperanjat. Ruang itu luas, juga memiliki langit -- langit yang tinggi, dan sekeliling kami adalah perabotan dan ornamen bernuansa kayu. Bebauan pelitur dan pernis cukup menusuk hidung, seakan baru saja tiba dari pemahat atau pengrajin seni. Aku melihat ke tengah ruangan dan mendapati bahwa puntung -- puntung rokok berserakan, serta beberapa botol wine dibiarkan terbuka.

"Ruangan ini belum dibereskan sejak perjamuan kemarin?"

"Seluruh rumah belum dibereskan, pak. Permintaan kepolisian siang kemarin. Kami para pelayan tidak tahu mengapa, juga tidak berani bertanya, hanya berani mengikuti."

"Siapa saja yang duduk di ruang tamu ini?" tanya Jamet.

"Anak ketiga Hudaya Hermawan bersama istrinya Verni Riswita, berbincang,  mengisap tembakau, dan menikmati wine di ruang tamu ini."

Mendengar jawaban Alfred menimbulkan sebuah ide dalam benakku. Aku memanggil James dan Jamet, bertanya apakah mereka setuju kepada rencanaku. Ternyata mereka tidak keberatan.

"Tuan Alfred, begini, aku memiliki rencana. Bisakah tuan terangkan apa yang terjadi di setiap ruangan, bersama setiap pelakunya, seiring kita berjalan menyusuri rumah ini? Apakah tuan mengingat kejadian dua hari yang lalu, beserta orang -- orangnya?"

Alfred tersenyum tipis dan mengangguk, "Sayangnya saya diberi perintah oleh Tuan Bobby untuk mengawasi tuan muda Guntur Hermawan. Anak ini cukup bandal sehingga tuan besar memberikan perhatian khusus. Sepanjang malam saya terus berada di sisinya berlarian kesana kemari."

"Dan Guntur Hermawan ini adalah cucu dari Bobby Hermawan dan anak dari Trisna Hermawan?" tanyaku, yang diikuti anggukan dari Alfred.

Aku melanjutkan, "Tidak mengapa, tuan Alfred, ini justru yang kami harapkan, keterangan akan menjadi natural dan tidak dipaksakan. Kau katakan tadi anak ini berlarian ke segenap penjuru ruangan, bukan? Maka kita bisa melihat kejadian dari sudut pandangnya."

"Baiklah jika itu yang tuan -- tuan inginkan." Alfred mengangguk dan mempersilakan kami untuk mengikutinya di belakang. Dari ruangan tamu kami beranjak menuju ruang tengah. Ruangan itu sangat besar sekali, dengan langit -- langit yang lebih tinggi daripada ruangan tamu, dikelilingi oleh anjungan dari lantai dua. Sebuah lampu kristal terletak di sisi sebelah kanan, dan sebuah buffet panjang berada di bawahnya. Melihat bahkan sisa -- sisa makanan dan perabotan belum dibereskan, aku berpendapat bahwa pelayan -- pelayan di tempat ini jujur dan taat perintah.

Lukisan -- lukisan antik dan berbagai macam foto keluarga adalah yang pertama menarik perhatianku ketika menginjakkan kaki di ruangan ini. Keluarga Hermawan memiliki empat orang anak, semuanya sudah menikah, namun baru ada tiga anak kecil di foto keluarga besar. Alfred menerangkan.

"Cucu pertama Guntur Hermawan, adiknya, Lolita Hermawan, beserta cucu dari anak kedua, Andy Hermawan. Ketiga anak ini berada di ruangan ini dan bermain -- main. Aku mengingat Guntur melempar slime ke muka Lolita dan ia membalasnya dengan pedang plastik, memukulnya di punggungnya sehingga anak itu kesakitan dan menangis. Andy tertawa terbahak -- bahak. Namun, tangisan dan tawa itu berhenti ketika istri tuan Trisna, Charissa, melerai ketiganya."

Aku ingin melanjutkan pertanyaan namun Jamet menghentikan niatku. "Di depan tv ini, tuan Alfred, pasti ada orang yang merebahkan diri di kasur styrofoam ini."

"Pak polisi betul. Anak keempat tuan Bobby, tuan Sandy Hermawan bersama istrinya, Indri Gitarja, berada di kasur styrofoam itu."

"Bersama dalam arti..."

"Berpelukan, tuan polisi."

Jamet mengangguk -- angguk malu karena tidak menyangka jawaban Alfred akan sedetail itu. Aku melanjutkan berkeliling. Sebagai seorang konglomerat, memiliki lukisan antik adalah sebuah keharusan. Dan tidak ada satupun sudut dinding yang kosong. Selain itu Bobby Hermawan memiliki seleranya sendiri. Lukisan -- lukisan ini bertemakan sejarah. Mulai dari perang nusantara, perang Amerika, hingga jaman perang Romawi.

Aku kembali bertanya pada Alfred. Ia menjelaskan, "Tuan Bobby Hermawan bukanlah seorang konglomerat yang mengumpulkan kekayaannya dari warisan. Ia menghargai kerja keras dan kemampuan. Ia menjelaskan padaku hidup layaknya perang, kita harus berusaha dan bertindak sekuat tenaga. Itulah mengapa lukisan -- lukisan ini bertema perang."

Aku mengangguk -- angguk. Sebuah guci di pojok ruangan menarik perhatianku. Ada payung -- payung dan tongkat di guci itu. Namun, karena penglihatanku cukup jeli, aku menarik sebuah pedang plastik. Alfred kembali menjelaskan.

"Pedang itulah yang digunakan Lolita untuk memukul Guntur hingga menangis."

Aku mengembalikan pedang itu ke dalam guci lalu beralih menuju buffet. Buffet ini menjadi penting karena pak bos berkali -- kali menekankan bahwa ada sebuah makanan pemicu yang menjadi penyebab sakit jantung Bobby Hermawan. Aku harus jeli di sini. Namun penyelidikan pertamaku ke atas meja buffet membuahkan kekecewaan. Semua sisa makanan adalah para penyebab kolesterol. Contohnya adalah opor ayam dan ayam gulai. Bekas minyak pun bertebaran. Selain itu ada aroma wine beralkohol. Alfred mengerti tanpa perlu kutanyakan.

"Tuan Bobby tidak bersantap di sini. Ini adalah untuk perjamuan keluarga."

"Namun siapa yang bisa memastikan bahwa Bobby Hermawan tidak menyentuh makanan -- makanan ini?" sergah James.

"Tuan besarku itu adalah yang paling menjaga kesehatannya. Kami para pelayannya tidak perlu mengingatkannya. Selama lima tahun ke belakang ini, bahkan Tuan Bobby tidak pernah memakan daging merah."

"Lalu di manakah ia bersantap malam?"

"Di ruang kecil di belakang. Kami pun belum membereskannya. Namun tuan harus bersiap kecewa, karena tuan Bobby adalah jenis orang yang menghabiskan makanannya secara rapi. Tidak ada yang tersisa dari menunya."

"Tidak apa -- apa. Kita pergi ke sana." ujarku.

Alfred mengangguk, namun sebelum kami beranjak, ia memberikan sebuah keterangan. "Ada sebuah kejadian yang perlu kuberitahu kepada tuan -- tuan sebelum kita pergi. Ada sebuah ketegangan yang terjadi antara Charissa, istri tuan Trisna, dengan Wina Paloka, istri tuan Francis, anak kedua tuan Bobby Hermawan, di ruangan ini. Saya tidak tahu apa yang menjadi penyebab pertengkaran, namun sepertinya karena Charissa memarahi Andy secara berlebihan."

Huh. Pertengkaran ibu -- ibu. Itu merupakan hal yang lumrah. Kami pun akhirnya mengikuti Alfred menuju ke belakang. Ruangan ini cukup kecil, namun elegan dan eksotis, karena lagi -- lagi ada banyak koleksi unik yang bernaung di tempat itu, seperti beruang yang diawetkan, muka bison dan kijang yang dipajang di tembok, serta patung Hercules yang bergaya Romawi. Di setiap sudut dinding dipenuhi oleh rak buku sehingga jelaslah bagi kami bahwa ruangan ini merupakan perpustakaan pribadi atau tempat kerja sang konglomerat. Di salah satu pojok terdapat sebuah meja yang dipenuhi kertas dan media elektronik sehingga memperkuat dugaan kami.

Alfred beralih menuju sebuah meja panjang yang berisi bermacam -- macam nampan dan gelas. Seperti ucapannya barusan, kami tidak menemukan sisa makanan, semuanya terpajang rapi, bahkan aromanya pun tidak terendus. Namun Alfred dengan baik hati menjelaskan menu yang menjadi santapan terakhir Bobby Hermawan dalam hidupnya.

"Menunya adalah ikan salmon, tuna kukus, sapotahu tanpa udang, sayur -- sayuran, dan buah -- buahan. Ia menutup dengan hidangan puding."

"Ia bukan vegetarian?"

"Bukan, tuan -- tuan. Tuan besar tidak anti dengan daging, namun harus daging sehat, selain itu ia cukup membatasi asupan karbohidrat."

Aku mengangguk -- angguk. Sepengetahuanku, orang yang membatasi karbohidrat dan tidak mengonsumsi gula adalah orang yang paling mengerti tentang kesehatan. Seharusnya tidak mungkin orang seperti Bobby Hermawan meninggal akibat kadar kolesterol tinggi. Namun pemeriksaan lab menunjukkan hal itu.

"Apakah Bobby Hermawan mengonsumsi obat -- obatan?"

Alfred mengangguk, "Ia mengonsumsi amlodipin dan simvastatin. Namun khusus amlodipin, baru -- baru ini diberikan oleh tuan Trisna sebagai pelengkap dari obat awal."

"Bukan atas saran dokter?" ujarku cepat.

"Tuan Trisna mengaku bahwa ia sudah berkonsultasi dengan dokter pribadinya. Tuan besar juga setuju. Ia selalu meriset apa yang akan dikonsumsinya sehingga kami tim pelayan tidak khawatir dengan apa yang akan dimakan oleh tuan besar."

Lagi -- lagi, setahuku obat penurun kolesterol tidak perlu suplemen. Apakah terjadi sebuah komplikasi? Bukankah hal ini seharusnya muncul di laporan hasil lab? Aku tidak ingin berasumsi terlalu jauh tanpa mengerti situasi. Alfred melanjutkan.

"Bahkan tuan Trisna datang ke tempat ini bersama Guntur ketika tuan besar sedang bersantap. Tuan Trisna menagih ayahnya bahwa ia berjanji akan membawa Guntur jalan -- jalan naik helikopter ke Macau. Tuan besar menyanggupi. Di akhir percakapan yang kuingat, ia menanyakan tentang amlodipin, apakah tuan Bobby sudah memakannya atau belum. Padahal ia belum selesai bersantap malam."

Aku mengangguk -- angguk. Keterangan ini tentu memberatkan Trisna Hermawan. Apalagi rumah ini menjadi warisan baginya. Namun aku tidak ingin beralih ke sana. Aku menuju pojok dan menemukan sebuah globe yang cukup besar. Yang unik, ada titik -- titik merah muda di atas globe itu. Alfred dengan senang hati menjelaskan.

"Tuan besar mempunyai kebiasaan untuk menandai setiap tempat yang telah ia kunjungi di permukaan bumi."

"Apakah ia mempunyai hobi jalan -- jalan?"

"Benar. Dan lagi ia senang menggunakan moda yang tidak umum, seperti helikopter, jet, catboat."

"Sepertinya ia menyukai Jepang dan Asia Timur." ujarku melihat banyak sekali titik -- titik di daerah itu.

"Mungkin karena daerah itu terkenal dengan hasil ikannya yang banyak. Seperti yang bapak -- bapak telah lihat, ia penyuka daging ikan."

Setelah kuputuskan tidak ada lagi yang perlu diselidiki, kami memutuskan untuk keluar. Namun, sebelum keluar, Jamet berseru.

"Kilesa, James, coba kalian perhatikan media -- media elektronik ini. Apa orang ini benar -- benar gila kesehatan?"

Ada banyak tab yang terpampang di layar perangkat elektronik Bobby Hermawan. Namun aku tidak perlu terheran -- heran. Isinya adalah tentang ikan salmon, ikan sushi, ikan buntal Jepang, dan yoghurt keledai. Namun di tab terakhir, ia membuka informasi tentang tangan artificial. Ia berencana untuk membeli tangan artificial dari Jepang. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kesehatan. Namun aku merasa tidak ada yang aneh dengan itu.

Kami pun berjalan keluar dari ruangan itu. Sesuatu seperti kerang tertendang oleh sepatuku di dekat pintu. Kukira itu adalah bagian dari ornamen -- ornamen antik yang dimiliki oleh Bobby Hermawan. Karena tertendang di bawah treadmill, jadi tidak kupedulikan. Di luar, Alfred mengajak kami untuk pergi ke balkon luar. Di sini pemandangan melegakan tercipta. Rumah ini berada di dataran tinggi sehingga pusat kota dan hiburan terlihat di kejauhan.

Ada beberapa kursi santai di balkon ini. Alfred berkata.

"Pada malam itu, tuan Francis sedang bersantai di kursi ini dan memandang langit, sambil sesekali membaca buku. Ia memang seorang penyendiri. Usai mendatangi tuan besar, tuan Trisna dan Guntur datang ke tempat ini."

"Apa yang mereka bicarakan?" ujar Jamet.

"Entahlah, tuan polisi. Saya berada di kejauhan karena agak sungkan dengan tuan Trisna. Namun, dari apa yang saya dengar topiknya berkisar di hutang pekerjaan dan modal perusahaan. Keduanya memang menjadi komisaris di perusahaan keluarga Senggiluk Triwisata. Di akhir pembicaraan saya mendengar nada tuan Francis yang meninggi, sehingga tuan Trisna cepat -- cepat mengajak Guntur untuk meninggalkannya."

James bergerak ke arah meja di samping kursi santai, dan mengambil sebuah buku. Judul dari buku itu tercetak dalam bahasa inggris, Artificial Technology.

"Dan saya asumsikan buku ini adalah kepunyaan Francis Hermawan?"

Alfred mengangguk, "Betul, tuan. Mungkin ia lupa membawa pulang."

Kami berbincang -- bincang hal -- hal trivial lainnya sebelum aku memutuskan untuk menyudahi kunjungan di balkon itu. Ketika masuk ke dalam, aku melihat ke anjungan tingkat dua dan bertanya.

"Jadi, tidak ada satu pun anggota keluarga yang berada di tingkat dua?"

"Tidak ada, pak polisi. Kalaupun ada hanyalah tuan muda Guntur dan Lolita yang berkejar -- kejaran dengan pedang plastiknya di atas. Saya pun terpaksa naik ke atas dan menjaga mereka. Selebihnya, lantai dua kosong. Semuanya berada di lantai satu."

Pedang plastik itu mengingatkanku akan sesuatu yang mengganjal. "Katakan padaku, tuan Alfred. Apakah tuan Bobby memiliki sakit kaki, misalnya asam urat? Mengapa ia memiliki tongkat -- tongkat?"

Alfred menggeleng, "Tidak, tidak. Bukan asam urat. Hanya saja, nona kecil di sini kadang -- kadang kelewat batas. Nona Lolita pernah memukul kaki kakeknya hingga terkilir dan lumpuh. Butuh waktu lima bulan hingga kakinya berjalan normal lagi."

Aku mengangguk. Aku berdiskusi dengan James dan Jamet apakah ada yang perlu diulik lagi dari kediaman Bobby Hermawan, karena kurasa sudah cukup dalam penyelidikan kali ini. Jamet tiba -- tiba menyergah.

"Satu lagi sebelum kita pulang, Kilesa. Coba ke sini, tuan Alfred."

Kami berjalan menuju salah satu sudut dinding di ruang tengah. Terpampang sebuah foto Bobby dan seorang perempuan. Keduanya berada dalam usia muda.

"Orang ini, apakah mendiang istri Bobby Hermawan?"

Alfred sedikit tersenyum, "Pertanyaan tuan polisi cukup jeli. Wanita itu bukanlah mendiang istri tuan besar. Ia adalah istri pertama. Istrinya yang sekarang adalah yang kedua, sudah meninggal tahun lalu. Nyonya besar sebenarnya tidak suka lukisan foto ini berada di tempat ini, tapi tuan besar tidak menyanggupi permintaannya. Ia mengatakan bahwa perjalanan hidupnya adalah memori yang tidak boleh dilupakan. Akhirnya nyonya besar mengalah."

Aku memandang Jamet, seakan berkata, "Puaskah kau atas pertanyaan pentingmu itu? Kukira akan membantu dalam kasus."

Kami bertiga pun akhirnya mohon diri dari Alfred dan keluar menuju pelataran luar rumah Bobby Hermawan. James membuka topik.

"Sungguh sebuah rumah yang menyenangkan. Keluarga yang bahagia, tanpa masalah. Dan sekarang aku sungguh yakin bahwa Bobby Hermawan meninggal karena sebab alami. Tidak ada sama sekali motif untuk membunuhnya."

Aku menggeleng, "Sebaliknya James, Jamet. Ada seorang pembunuh berdarah dingin di dalam rumah ini. Aku terpaksa diam hingga keluar rumah agar tidak terdengar."

James dan Jamet memandangku dengan keheranan. "Apa maksudmu, Kilesa? Terpaksa diam? Maksudmu Alfred membunuh Bobby Hermawan?"

Aku menggeleng dan menuliskan sebuah nama di secarik kertas dan melipatnya, lalu memasukkannya ke kantung celana James.

"Itu nama pembunuhnya. Kemungkinan besar. Ada sesuatu yang harus kucari sebelum memastikannya. Lagipula kita harus menunggu otopsi dari lab. Tidak, tidak, aku yakin bahwa Bobby Hermawan menemui ajal tidak dengan cara alami. Hanya saja, kita tidak memiliki bukti. Semoga saja aku bisa memastikannya dari benda ini."

Aku mengambil sesuatu dari dalam celanaku dan mengeluarkan sebuah kerang.

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun