"Dan saya asumsikan buku ini adalah kepunyaan Francis Hermawan?"
Alfred mengangguk, "Betul, tuan. Mungkin ia lupa membawa pulang."
Kami berbincang -- bincang hal -- hal trivial lainnya sebelum aku memutuskan untuk menyudahi kunjungan di balkon itu. Ketika masuk ke dalam, aku melihat ke anjungan tingkat dua dan bertanya.
"Jadi, tidak ada satu pun anggota keluarga yang berada di tingkat dua?"
"Tidak ada, pak polisi. Kalaupun ada hanyalah tuan muda Guntur dan Lolita yang berkejar -- kejaran dengan pedang plastiknya di atas. Saya pun terpaksa naik ke atas dan menjaga mereka. Selebihnya, lantai dua kosong. Semuanya berada di lantai satu."
Pedang plastik itu mengingatkanku akan sesuatu yang mengganjal. "Katakan padaku, tuan Alfred. Apakah tuan Bobby memiliki sakit kaki, misalnya asam urat? Mengapa ia memiliki tongkat -- tongkat?"
Alfred menggeleng, "Tidak, tidak. Bukan asam urat. Hanya saja, nona kecil di sini kadang -- kadang kelewat batas. Nona Lolita pernah memukul kaki kakeknya hingga terkilir dan lumpuh. Butuh waktu lima bulan hingga kakinya berjalan normal lagi."
Aku mengangguk. Aku berdiskusi dengan James dan Jamet apakah ada yang perlu diulik lagi dari kediaman Bobby Hermawan, karena kurasa sudah cukup dalam penyelidikan kali ini. Jamet tiba -- tiba menyergah.
"Satu lagi sebelum kita pulang, Kilesa. Coba ke sini, tuan Alfred."
Kami berjalan menuju salah satu sudut dinding di ruang tengah. Terpampang sebuah foto Bobby dan seorang perempuan. Keduanya berada dalam usia muda.
"Orang ini, apakah mendiang istri Bobby Hermawan?"