Alfred sedikit tersenyum, "Pertanyaan tuan polisi cukup jeli. Wanita itu bukanlah mendiang istri tuan besar. Ia adalah istri pertama. Istrinya yang sekarang adalah yang kedua, sudah meninggal tahun lalu. Nyonya besar sebenarnya tidak suka lukisan foto ini berada di tempat ini, tapi tuan besar tidak menyanggupi permintaannya. Ia mengatakan bahwa perjalanan hidupnya adalah memori yang tidak boleh dilupakan. Akhirnya nyonya besar mengalah."
Aku memandang Jamet, seakan berkata, "Puaskah kau atas pertanyaan pentingmu itu? Kukira akan membantu dalam kasus."
Kami bertiga pun akhirnya mohon diri dari Alfred dan keluar menuju pelataran luar rumah Bobby Hermawan. James membuka topik.
"Sungguh sebuah rumah yang menyenangkan. Keluarga yang bahagia, tanpa masalah. Dan sekarang aku sungguh yakin bahwa Bobby Hermawan meninggal karena sebab alami. Tidak ada sama sekali motif untuk membunuhnya."
Aku menggeleng, "Sebaliknya James, Jamet. Ada seorang pembunuh berdarah dingin di dalam rumah ini. Aku terpaksa diam hingga keluar rumah agar tidak terdengar."
James dan Jamet memandangku dengan keheranan. "Apa maksudmu, Kilesa? Terpaksa diam? Maksudmu Alfred membunuh Bobby Hermawan?"
Aku menggeleng dan menuliskan sebuah nama di secarik kertas dan melipatnya, lalu memasukkannya ke kantung celana James.
"Itu nama pembunuhnya. Kemungkinan besar. Ada sesuatu yang harus kucari sebelum memastikannya. Lagipula kita harus menunggu otopsi dari lab. Tidak, tidak, aku yakin bahwa Bobby Hermawan menemui ajal tidak dengan cara alami. Hanya saja, kita tidak memiliki bukti. Semoga saja aku bisa memastikannya dari benda ini."
Aku mengambil sesuatu dari dalam celanaku dan mengeluarkan sebuah kerang.
Kasus lain dapat dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H