Lalu mengapa tidak masuk saja? "Pagi, James. Inikah kediaman Bobby Hermawan? Rumah yang bagus."
Detektif yang lain melempar pandang ke arah rumah. "Benar, Kilesa. Lihatlah. Jika rumah -- rumah lain memiliki beton tinggi atau tembok tinggi, rumah ini berusaha untuk tampil natural dengan menggunakan tembok kayu semaksimal mungkin. Walaupun aku tahu sebenarnya itu hanya akal -- akalan saja, sebenarnya itu beton juga, hanya diwarnai cokelat saja."
Aku menahan napas mendengar lelucon pertama Jamet. Tidak ingin membuang -- buang waktu, kami memasuki pekarangan rumah. Tidak adanya garis kuning polisi membuatku bertanya -- tanya.
"Kematian Bobby tidak dianggap aksi kriminal, atau belum, lebih tepatnya, karena semuanya masih kemungkinan." ujar James, "Kunjungan kita pagi inilah yang akan menentukan itu. Semoga saja kematiannya memang karena proses alami, bukan pembunuhan. Nah, selamat pagi, tuan Alfred."
Seorang paruh baya berpakaian rapi menyambut kami. Ia berpenampilan sopan dan bertata krama, jelaslah bahwa ia adalah seorang pelayan. Atau mungkin seorang kepala pelayan.
"Selamat pagi tuan -- tuanku dari kepolisian. Ijinkan aku untuk memandu tuan -- tuan untuk memasuki kediaman mendiang tuan Bobby Hermawan, atau lebih tepatnya Trisna Hermawan."
"Anaknya?" tanyaku.
Alfred mengangguk, "Yang paling tua. Berdasarkan wasiat tuan Bobby yang terakhir, rumah ini menjadi miliknya."
"Apakah ia hadir di sini malam dua hari yang lalu di pesta keluarga?"
"Keempat anak Bobby Hermawan hadir beserta pasangan -- pasangannya."
Memasuki ruang tamu membuat kami cukup terperanjat. Ruang itu luas, juga memiliki langit -- langit yang tinggi, dan sekeliling kami adalah perabotan dan ornamen bernuansa kayu. Bebauan pelitur dan pernis cukup menusuk hidung, seakan baru saja tiba dari pemahat atau pengrajin seni. Aku melihat ke tengah ruangan dan mendapati bahwa puntung -- puntung rokok berserakan, serta beberapa botol wine dibiarkan terbuka.