Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Penjual Mainan

9 September 2020   16:11 Diperbarui: 9 September 2020   16:19 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SANG PENJUAL MAINAN

Broom...! Broom...!

"Dek, tolong, jangan dimainkan di lantai, ya, nanti bisa rusak." ujarku meminta kepada seorang anak kecil yang duduk di lantai dan menggesek truk mainan berulang -- ulang. Ia menengadah dan melempar senyum polos. Kemudian ia mengulang perbuatannya.

Brooom...! Broom!

Aku melambaikan tangan untuk melarang, dan mungkin sebentar lagi aku akan menahan tangannya, mengambil truk mainan itu. Untungnya tiba -- tiba seorang ibu muncul dari belakang dan menggendongnya. Ia meminta maaf kepadaku, tidak dengan kata -- kata, hanya dengan ekspresi wajah yang merasa bersalah. Keduanya lalu meninggalkan toko.

Aku beranjak berdiri. Seorang bapak sedang melihat -- lihat di depan stand mainan kemasan. Dari ekspresi wajahnya nampaknya ia sedang bingung. Aku menawarkan bantuan.

"Ada yang bisa dibantu, pak?"

"Iya, ini, pak. Jam tangan mainan ini bagus, anak saya punya satu di rumah, tapi kok sering rusak. Ini sudah keempat kalinya saya datang ke toko ini dan membeli jam tangan yang sama. Anak saya merengek terus, pak. Saya bolak -- balik ke toko ini. Tapi kok, rusak terus ya?"

Aku coba memeriksa kemasan jam tangan yang dimaksud. Ya, namanya juga kw, pikirku. Lalu tertulis buatan China. Ah, lebih -- lebih, pikirku. Tapi...

"Jam tangan ini yang terbaik, pak. Lihat di sini. Hanya tersisa dua atau tiga stok lagi, bukan? Itu artinya laku, dan banyak yang mencari, pak. Kalau bapak datang nanti sore, saya yakin bapak tidak akan kebagian."

Sang bapak melihat saya dengan pandangan skeptis. "Lalu dengan penjelasan benda ini sering rusak?"

Aku menarik napas dalam. "Sebenarnya saya tidak ingin menyalahkan, pak. Namun, kejadian bapak ini mirip dengan Bu Rohali yang sering menjadi pelanggan di sini. Ia sering membeli barang yang sama, dalam kasusnya yaitu barbie America. Ia mengaku memang anaknya sering bertindak kasar. Sekali lagi, pak, saya tidak ingin menyalahkan. Tapi, apakah bapak pernah menemani anak bapak bermain. Atau melihatnya? Jam tangan jenis ini biasanya akan rusak jika dibanting -- banting, pak."

Sebaliknya dari yang kuduga, bapak itu memberikanku sorot mata tajam. Namun, kemudian ia mengambil salah satu kemasan jam tangan itu. Di dalam hati aku mengelus dada dengan lega.

"Beli, pak, satu lagi. Semoga kali ini tidak rusak."

"Semoga, pak. Nah, sudah diproses. Boleh dibawa pulang, pak."

Bapak itu pun keluar dengan kemasan jam tangan di tangannya. Sebenarnya, jam tangan itu sudah banyak diprotes pelanggan. Sering rusak. Itulah sebabnya aku menghentikan supplynya. Bukan karena laku.

Seorang ibu -- ibu menghampiriku. Ia bertanya. "Mas, ada tidak, ya, mainan handphone buatan? Anak saya sering merengek minta handphone saya. Saya tidak suka handphone saya diutak -- atik sama anak saya. Ada mas? Ada ya?"

Loh kok maksa? Hihi. "Ada, bu. Ke sini, mari."

Sang ibu membuang napas lega. Kami pun berjalan menuju stand mainan berdus. Ada yang dus -- dus besar, ada pula yang dus -- dus kecil. Dus -- dus besar biasanya mainan mobil -- mobilan, pistol -- pistolan, sedang dus -- dus kecil seperti handphone dan action figure. Aku menunjukkan handphone -- handphone mainan, tapi sepertinya perhatian sang ibu tidak tertuju ke sana.

"Spiderman ini asli mas, ya? Kok keliatannya bagus banget?"

"Tentu saja, bu. Ini buatan China. Top quality. Tidak mudah rusak, bu. Lihat, bisa dilentur -- lenturkan, bukan? Bagus sekali, bu."

"Ah, menarik sekali, pak. Anak saya pasti suka ini?"

"Anak ibu atau ibu sendiri?" aku berkata sambil tertawa, yang disambut dengan tawa si ibu. Menjadi penjual mainan lebih mudah memang ketika memiliki sifat humoris. Penjual dan pembeli terasa dekat, sehingga mereka tidak sungkan untuk membeli mainan. Akhirnya sang ibu memutuskan.

"Saya beli spiderman ini, pak. Tolong dikemas."

"Lalu dengan mainan handphone, bu?"

"Ya, boleh. Yang mana saja. Bungkus satu."

"Ibu tidak ingin melihatnya dulu?"

"Tidak perlu. Itu untuk anak saya. Saya sebenarnya kesengsem dengan spiderman ini, pak. Jangan bilang siapa -- siapa, ya."

Aku pun mengangguk, dan tertawa dalam hati. Sebenarnya kita semua adalah anak -- anak di dalam hati kita, namun enggan mengakui. Usai mengemas kedua barang itu sang ibu pun beranjak pergi. Setelahnya, tidak ada lagi pelanggan. Wajar, hari telah sore menjelang malam. Aku pun meminta Tono, asistenku, untuk memeriksa toko sekali lagi, lalu mengunci pintu dan menurunkan tirai besi di depan.

Selesai sudah kegiatanku hari ini di dalam toko.

Aku menstarter motor bebekku dan berkendara di jalanan. Hari ini hasilnya lumayan. Mimi dan Ansyori pasti senang dengan yang kubawa pulang. Aku pun sampai di depan rumah, memarkirkan bebek yang tercinta di depan tembok rumah Pak Besari. Ya, memang rumah kami terletak di dalam gang dan berdempetan, sehingga sedikit sekali space untuk parkir motor.

Pintu rumahku terbuka. Terlihat bahwa Ansyori sedang menonton tv. Ada acara kartun, spongebob sepertinya. Ia bersorak menyambut ketika melihatku tiba di depan pintu. Ia memelukku. Istriku juga datang dari belakang. Namun wajahnya masam.

"Bawa berapa hari ini, bang?"

"Seratus ribu, mi. Ini untung kita yang paling besar dalam seminggu. Bisa bayar uang sekolah Ansyori!"

"Lalu bagaimana dengan utang Pak Nurmadi? Kapan kita mau bayar?"

Perasaanku langsung tidak enak. "Ya, itu bisa kita pikirkan lain kali, Mi. Masih ada hari esok."

Ansyori yang menyadari bahwa orang tuanya mungkin akan bertengkar lagi langsung pergi ke belakang, lenyap dari pandangan. Sementara itu Mimi masih belum selesai dengan tuduhannya.

"Tadi pagi anak Pak Nurmadi, si Deden, sudah datang ke rumah ini. Dia gedor -- gedor pintu depan. Kencang sekali, loh, pak. Untungnya Ansyori masih di sekolah. Lalu, kau tahu aku ada di mana? Aku ada di belakang, sedang mencuci. Aku ketakutan setengah mati! Aku tidak berani membuka pintu."

Titik air mata mulai mengucur turun dari wajah Mimi. Aku tidak tega melihatnya, segera mendekap tubuhnya ke dalam pelukanku. Namun, ia menyergah dan mendorong tubuhku.

"Kita tidak bisa hidup seperti ini terus, bang. Pikirkan! Pikirkan bagaimana kita bisa hidup kelak, bagaimana masa depan dari Ansyori. Toko mainan konyolmu itu tidak bisa menghasilkan banyak! Tutup saja, dan cari usaha yang lain."

Di tengah emosi yang meluap ia berbalik badan dan hendak melangkah ke belakang. Namun kemudian ia menatapku kembali dan berteriak, "Pikirkan!" sebelum akhirnya benar -- benar melangkah ke belakang, ke balik tembok.

Aku menarik napas dalam. Ruang tenggorokanku sudah basah oleh air, tanda sebentar lagi aku pun juga akan menangis. Namun kucoba tahan sekuat tenaga. Kartun spongebob masih tayang di tv. Kali ini aku benar -- benar yakin, karena aku melihat Tuan Crab memegang segepok duit dollar di kantornya. Ia terlihat bahagia sekali. Ah, seandainya aku bisa menjalankan usaha seperti Tuan Crab yang laris manis. Aku pun melangkah menuju belakang.

Tidak ada Mimi, istriku yang sakit hati itu. Mungkin ia sedang berada di kamar dan menangis. Yang ada adalah Ansyori, sedang makan kuah di mangkok, di atas meja makan. Ia terlihat merenung, menyendok kuah dengan enggan. Aku memundurkan kursi, dan duduk di sebelahnya.

"Ayah tidak apa -- apa, kan?"

Aku menatap anakku dan menggeleng sambil tersenyum. Sebenarnya air mata sudah sampai di pelupuk mata, namun aku masih mencoba bertahan. Ansyori masih belum menatapku dan menyendok kuah dengan pelan.

"Tapi kenapa ibu menangis, yah? Ayah jahat sama ibu?"

Aku membelai rambut Ansyori. "Tidak, nak. Hanya ada sedikit masalah. Nanti malam, bunda pasti ceria lagi. Pasti. Ansyori sendiri kan paham bunda seperti apa. Ia terlihat sedih, padahal sebenarnya hanya berakting saja."

Kali ini Ansyori menatapku. "Benarkah itu, ayah? Benarkah bunda tidak apa -- apa?"

Aku tersenyum dan mengangguk. "Benar. Jika Ansyori tidak percaya, coba tunjukkan ini pada bunda. Ia pasti tersenyum."

Aku mengeluarkan sebuah dus dari dalam kantong belanja yang kutenteng sedari tadi. Saat mengetahui apa isinya, wajah Ansyori berubah antusias. Ia berseru sekuat tenaga.

"Spiderman! Spiderman!"

Dus itu pun tidak ada lagi di hitungan berikutnya, sudah tercabik -- cabik oleh tangan anakku. Sang spiderman kini sudah berada di genggaman tangannya, dipelintir sesuka hati olehnya. Di hitungan berikutnya, sang manusia laba -- laba sudah meluncur di udara. Aku memperingati anakku.

"Ingat, Ansyori, tunjukkan pada bunda."

Ansyori mengangguk dan berlari ke kamar, meninggalkan aku sendirian di meja makan. Kini aku tidak perlu lagi menahan air mata. Kebahagiaan buah hati adalah segalanya. Tawa itu adalah segalanya, memberikanku sebuah harapan untuk menjalani hidup. Aku yakin esok hari akan membawa penghidupan yang lebih baik. Aku tersenyum saat mendengar tawa kecil bunda dari dalam kamar.

Tuhan mendengar permohonan hamba-Nya, tentang hal ini aku yakin sekali. Terlebih, siapa yang hendak memberi ular beracun pada saat anaknya meminta roti?

***

***

Cerita lain dapat disaksikan di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun