Aku menatap anakku dan menggeleng sambil tersenyum. Sebenarnya air mata sudah sampai di pelupuk mata, namun aku masih mencoba bertahan. Ansyori masih belum menatapku dan menyendok kuah dengan pelan.
"Tapi kenapa ibu menangis, yah? Ayah jahat sama ibu?"
Aku membelai rambut Ansyori. "Tidak, nak. Hanya ada sedikit masalah. Nanti malam, bunda pasti ceria lagi. Pasti. Ansyori sendiri kan paham bunda seperti apa. Ia terlihat sedih, padahal sebenarnya hanya berakting saja."
Kali ini Ansyori menatapku. "Benarkah itu, ayah? Benarkah bunda tidak apa -- apa?"
Aku tersenyum dan mengangguk. "Benar. Jika Ansyori tidak percaya, coba tunjukkan ini pada bunda. Ia pasti tersenyum."
Aku mengeluarkan sebuah dus dari dalam kantong belanja yang kutenteng sedari tadi. Saat mengetahui apa isinya, wajah Ansyori berubah antusias. Ia berseru sekuat tenaga.
"Spiderman! Spiderman!"
Dus itu pun tidak ada lagi di hitungan berikutnya, sudah tercabik -- cabik oleh tangan anakku. Sang spiderman kini sudah berada di genggaman tangannya, dipelintir sesuka hati olehnya. Di hitungan berikutnya, sang manusia laba -- laba sudah meluncur di udara. Aku memperingati anakku.
"Ingat, Ansyori, tunjukkan pada bunda."
Ansyori mengangguk dan berlari ke kamar, meninggalkan aku sendirian di meja makan. Kini aku tidak perlu lagi menahan air mata. Kebahagiaan buah hati adalah segalanya. Tawa itu adalah segalanya, memberikanku sebuah harapan untuk menjalani hidup. Aku yakin esok hari akan membawa penghidupan yang lebih baik. Aku tersenyum saat mendengar tawa kecil bunda dari dalam kamar.
Tuhan mendengar permohonan hamba-Nya, tentang hal ini aku yakin sekali. Terlebih, siapa yang hendak memberi ular beracun pada saat anaknya meminta roti?