"Ah, seribu dollar dimatikan dengan sia -- sia." ujarnya.
Keributan sementara itu membuat orang -- orang tidak sadar bahwa sedari tadi Helena sibuk bersender di tiang pagar dan menelepon. Wajahnya terlihat cemas. Setelah bolak -- balik menyender dan mondar -- mandir, Helena menunjukkan wajah paling menyesalnya. Ia berkata bahwa ia harus segera pergi. Kata -- kata yang kutangkap ialah bahwa kekasihnya Johan membuat masalah lagi di kantor polisi sehingga ia harus menemaninya. Sesudah Helena pergi, Indira geleng -- geleng kepala.
"Sungguh kasihan sekali anak itu. Anak konglomerat perikanan, sekarang dimanfaatkan kekasihnya untuk menghabiskan harta serta perhatiannya. Sungguh kasihan sekali."
"Kau benar, Indira. Di pertemuan arisan berikutnya nanti akan kucoba untuk menyadarkannya." timpal Bu Hakim.
Sementara itu, masih memegang hidungnya, Utari perlahan -- lahan kembali menuju tempat duduknya. Kelakuannya yang seperti seorang putri membuat Kartika gemas. "Lihat itu seorang putri raja. Putri presiden. Bagaimana, nak, apakah kau berhasil mendapatkan pangeran tertampan di negeri ini? Atau justru koruptor bermuka dua?"
Utari mendelik tajam ke arah Kartika. Yang ditatap membalas. Namun Utari akhirnya menyantap makanannya. Ketika ia memandang ke kiri, kursi yang ditempati Indira kosong. "Ke mana Bu Indira?"
Bu Hakim menanggapi, "Ia sedang pergi ke toilet."
Di seberang meja Bu Hakim, aku mendapatkan Rachel sedang bersender dan menghirup sisa cerutunya. Unik sekali. Nampaknya ia tidak rela cerutunya terbuang sia -- sia. Waitress sudah memerhatikannya, namun karena Rachel mengarahkan asapnya menuju udara bebas, serta mereka tidak ingin berkonfrontasi lagi, waitress dan manager caf pun membiarkannya. Rachel menatap Shanty dan mengedip.
"Bukan, kak, bukan karena kecantikanmu, mereka membiarkanmu. Lebih tepatnya karena kau adalah wanita yang galak." Shanty memastikan.
Rachel membalas, "Ya, dan kau adalah seorang ibu -- ibu ganjen."
"Aku belum ibu -- ibu, kakakku tersayang. Lihat tanganku ini. Sudah ada cincin?"