Aku mengangguk dan bertanya adakah lagi yang ingin ia sampaikan. Ia menjawab cukup, kemudian mohon diri dan keluar ruangan. Kamin memersilakan saksi yang ketiga. Ia adalah seorang pemuda berusia dua puluhan bernama Martis. Letak kamarnya paling jauh dari kamar Pak Tukiman, berada di samping tangga. Karena ia terlihat paling waras dari antara saksi lainnya, aku berharap keterangannya membantu.
"Langsung saja ke pokok persoalan. Kamu telah mendengar dua saksi sebelumnya. Adakah keterangan yang berbeda? Apakah kamu setuju bahwa Nebula yang melakukan semuanya ini? Adakah bukti yang bisa ditunjukkan?"
Martis terlihat sebagai pemuda berkacamata, pemikir, juga memiliki tatapan tajam. "Aku tidak tahu, pak, tapi akan kuberitahu apa yang terjadi di pagi tadi. Posisi kamarku berada di samping tangga, dan aku mendengar bisik -- bisik di samping tangga. Itu adalah suara dari Nebula dan suaminya."
Aku terkejut, "Jadi suaminya tidak menunggu di bawah seperti kata Bu Yoanna?"
Martis menggeleng. Aku lalu melanjutkan, "Apa isi pembicaraan itu?"
Sang pemuda menunggu lama, menatap kami berdua seakan bertanya bahwa apakah kata -- katanya berikutnya dapat menjaminkan keselamatannya. Ketika aku mengangguk, ia berkata, "Nebula berkata bahwa ia ragu -- ragu untuk melakukan kejahatan ini. Sedangkan suaminya mendesak dengan suara yang cukup tinggi. Katanya, anaknya butuh pengobatan dan vaksinasi, dan mereka tidak punya biaya lagi. Itulah percakapan terakhir mereka yang kudengar. Kuakui aku tidak melihat mereka. Namun itu karena aku takut. Mungkin mereka benar -- benar akan melakukan kejahatan. Aku bisa jadi korban berikutnya. Bapak -- bapak tahu, lingkungan ini cukup keras."
Charles bertepuk tangan sambil berseru eureka. Ia menatapku, "Apa lagi yang kau tunggu, Kilesa? Sudah tiga saksi, dan orang di depan kita yang paling memberatkan, bahwa Nebula dan suaminyalah yang bertanggung jawab atas kematian Pak Tukiman. Apa lagi..."
Charles terdiam begitu aku mengangkat tangan telunjuk ke bibirnya. Mataku menajam. Kesaksian pemuda ini terlalu bagus. Aku menanyakan pertanyaan selanjutnya.
"Bagaimana opinimu tentang Pak Tukiman? Aku bisa paham ia populer di kalangan ibu rumah tangga. Bagaimana denganmu?"
"Pak Tukiman membantuku dalam pelajaran kuliahku. Aku bukanlah orang pintar, pak polisi. Ia membantuku memahami mata kuliah, terutama dalam mata pelajaran akutansi. Pak Tukiman sendiri pernah bekerja di perusahaan kredit, jadi sedikit paham tentang neraca uang. Ia adalah orang baik. Sayang orang baik cepat dipanggil Tuhan. Aku turut berduka, pak polisi. Semoga ia bisa tenang di sisi-Nya."
Aku mengangguk. Ketika Martis berkata tidak ada lagi yang bisa ia sampaikan, ia pun memohon diri dan keluar ruangan. Aku menengok ke samping. Tinggal dua orang, Anjani dan seorang bapak -- bapak. Aku memanggil Anjani. Namun aku tidak menyuruhnya duduk.