"Ya, tepat seperti dugaanmu, Mahmud. Kamar ini telah dipakai untuk transaksi obat -- obatan terlarang. Transaksi heroine. Sapto adalah bandarnya. Dua orang yang keluar masuk di cctv, seorang pemuda dan ibu tua, adalah kliennya."
Aku melanjutkan. "Kemungkinan besar Lilis sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Ia tidak tahu apa -- apa. Mungkin ayah ibunya ada sangkut paut. Mereka yang menyingkirkan Lilis dari kamar ini. Mungkin juga akses Sapto ke kamar ini diperoleh dari ayah dan ibu Lilis."
"Jadi kita perlu memasukkan ayah dan ibunya ke daftar tersangka?"
"Bisa saja. Kita harus menyelidiki identitas mereka."
Aku melanjutkan, "Yang jelas, transaksi itu berlangsung salah, dan pengedarnya, Sapto harus menemui ajal. Melihat rekaman cctv, transaksi itu tidak menemui kata sepakat di orang kedua."
"Jadi kita harus menemukan ibu paruh baya ini?"
Aku mengangguk, "Benar. Cocokkan dengan data kepolisian. Akan makan waktu, namun tidak ada cara lain. Juga pemuda sebelum ibu ini perlu ditemukan. Keterangannya diperlukan, lagipula ia bertransaksi narkoba."
Kami berdua pun beranjak. Mahmud segera meninggalkan ruangan dan menuju kantor kepolisian, membuat hanya ada dua anggota forensik lagi di ruangan itu. Sebelum meninggalkan ruangan, aku berjalan menuju kamar terjadinya TKP. Mayat Sapto telah tiada, sebagai gantinya ada penanda di lantai.
Aku memerhatikan posisi mayatnya. Ia jatuh tertelungkup, artinya ia ditembak dari belakang ketika menghadap meja rias ini. Untuk apa? Untuk apa ia menghadap kaca rias ketika bertransaksi obat -- obatan terlarang? Lagipula jika ia menghadap cermin akan terlihat bahwa ada seseorang yang akan menembak di belakangnya...
Mataku membesar. Aku terhenyak. Tidak, transaksi itu tidak berlangsung salah pada transaksi kedua. Transaksi itu berlangsung salah pada...
Transaksi ketiga.