"Raja, kehadiranku di medan perang tidak akan membantu. Ijinkanlah aku disini, berada di dekatmu untuk memastikan keselamatanmu."
Kali ini bukanlah raja yang membalas ucapan Rakai Pikatan, melainkan Ario Senopati.
"Begitu pula disini, Rakai Pikatan. Kau tidak akan berguna disini seandainya pun prajurit Sriwijaya menghambur istana."
Rakai Pikatan mengingat -- ingat seratus alasan mengapa ia menyukai Ario Senopati. Tepat, sepuluh alasan pun tidak ada.
Raja menatap Rakai Pikatan, "Pergilah, Mpu Manuku. Tidak perlu kau menemukan alasan yang tepat. Ini perintahku. Apakah kau hendak berbantah dengan raja?"
Rakai Pikatan tertunduk, "Tidak, yang mulia raja."
Raja bertitah, "Segeralah kalian bersiap diri. Pergi ke utara sekarang juga. Mungkin pasukan Sriwijaya sudah bertempur dengan Mpu Panca di Laut Jawa."
"Baik, yang mulia raja, kami mohon diri."
***
"Lihatlah awan -- awan di atas sana. Dapatkah kau melihat puncak Gunung Merbabu?"
Rakai Pikatan mendengarkan Mapala Senadi berucap. Kata -- katanya seperti sedang mengucapkan dongeng saja. Tidak dalam kondisi perang. Di usianya yang mendekati lima puluhan, ia masih terlihat sangat bugar.