Sebuah suara kembali terdengar.
"Tenanglah, Rakai Pikatan, pikiran -- pikiranmu hanya akan menyiksamu saja. Beristirahatlah, karena semua akan baik -- baik saja."
Rakai Pikatan kini berdiri dan menoleh kesana kemari mencari sumber suara. Ia berjalan mengitari ruangan dan kembali tidak menemukan orang lain kecuali dirinya dan Pramawisastra. Ia mulai menyadari sesuatu.
Inikah sabda dari Batara Guru? Inikah jawaban dariNya? Haruskah aku menghaturkan sembah sekarang? Sebentar, kepalaku mulai pusing. Seakan -- akan alam semesta berkelilingan di sekitarku. Aku...
Rakai Pikatan tidak sadarkan diri.
***
Rakai Pikatan merasa ingin muntah ketika ia membuka matanya kembali. Perutnya terasa mual dan kepalanya terasa pening. Butuh belasan hitungan baginya sebelum ia bisa bangkit dan menguasai diri. Menggelengkan kepalanya untuk mencari keseimbangan, ia menatap keluar teras. Langit telah berubah menjadi gelap gulita. Ia tidak melihat bintang -- bintang, menandakan awan mendung menutupi mereka. Samar -- samar ia mendengar logam berdenting terdengar dari arah dataran Kedu. Pertarungan masih berlangsung? Ia melangkah menuju teras utara.
Ayam berkokok mengagetkan Rakai Pikatan. Berapa lama aku tertidur? Apakah ini sudah subuh? Ia memandang ke arah medan pertempuran. Pertarungan masih berlangsung dengan bantuan beberapa orang yang memegang obor. Rakai Pikatan tidak dapat menyaksikan dengan jelas. Samar -- samar ia melihat prajurit bercelana kuning bertempur dalam jumlah lebih banyak dibanding lawan -- lawannya. Namun kini ia juga melihat beberapa orang bertubuh dan berotot besar, bersenjatakan golok melawan prajurit -- prajurit Sriwijaya. Siapa mereka? Tidak mungkin mereka adalah pemuda -- pemuda tanah Kedu atau Merapi. Merekakah gerombolan bandit timur yang menjadi bala bantuan?
Langit mulai mengucurkan tetesan air saat itu. Gerimis menyongsong datangnya pagi, menyambut pertarungan yang telah berlangsung selama hampir satu malam. Rakai Pikatan dapat melihat arena pertempuran dengan lebih jelas. Prajurit Sriwijaya unggul dalam jumlah. Prajurit -- prajurit bercelana kuning masih berdatangan dari arah hutan utara. Sedangkan pasukan pemuda hanya tinggal berjumlah kurang lebih puluhan orang. Rakai Pikatan dapat menebak sebelum sang surya muncul di ufuk timur, pasukan pemuda akan habis dilindas oleh para prajurit Sriwijaya.
Rakai Pikatan merenung. Apa yang aku lakukan di sini sendirian? Tidak berkutik. Sementara yang lain mempertaruhkan nyawanya. Ayo pikirkan, calon putra mahkota. Apa yang dapat kau lakukan?
Rakai Pikatan melayangkan pandangannya kembali ke arah medan pertempuran. Pemandangan yang tidak mengejutkan tersaji di hadapannya. Kini medan pertempuran tidak lagi menjadi sebuah arena pertarungan, melainkan menjadi sebuah gelanggang lari para prajurit Sriwijaya. Tidak ada pemuda yang tersisa, yang terlihat hanyalah para prajurit bercelana kuning menyerbu, melesat menuju arah selatan.