Sang panglima menengadah ke langit.
"Langit cerah ini pertanda bagus. Hujan dan angin kencang akan membuat arus laut menjadi tidak terkendali. Kita tidak akan bisa mendarat di selatan Jawa. Tapi Buddha berkata lain. Hari ini akan menjadi saksi sebuah kerajaan terhapus dari atas permukaan bumi."
Angga Gunadharma menanggapi, "Betul, panglima. Seandainya hari ini hujan maka aku tidak akan mengijinkan kapal -- kapal ini berlayar. Terlalu besar, modal pembuatan kapal ini dibandingkan kesalahan yang berakibat kehancuran atau tenggelam."
Vijayasastra mengangguk. Rambut putihnya berkibar diterpa angin laut. Di kerajaan ini hanya ada dua orang istana yang memiliki rambut putih dan aku menghormati mereka.
Perlahan -- lahan kapal yang ditumpangi oleh Udayaditya bergerak menjauhi dermaga pelabuhan. Di samping -- sampingnya kapal -- kapal lain pun angkat sauh. Vijayasastra tersenyum menatap Udayaditya dan Angga Gunadharma.
"Kita berangkat."
Sebuah perasaan takjub merasuk jiwa Udayaditya. Ia memang sudah ratusan kali berlayar dari Pelabuhan Musi. Dua tiang dengan sebuah bendera berlatar kuning dan gambar kapal sebagai simbol kerajaan berkibar di kedua ujungnya telah menjadi pemandangan yang biasa saat ia melewati pintu masuk pelabuhan. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan. Udayaditya menatap langit biru yang terbentang di hadapannya.
Pada hari ini. Sebuah kerajaan yang memiliki arti emosional bagi Kerajaan Sriwijaya akan terhapus selamanya. Lihat, langit biru tanpa awan, angin laut malu -- malu berhembus, biru laut pun seakan tersenyum. Dewa kematian berada di Pulau Jawa, di atas Istana Medang.
Lamunannya dipecah oleh sebuah suara lonceng yang bergaung dari menara di samping istana Palembang. Kedua lonceng itu berbunyi berganti -- gantian, mengisi udara dengan bunyi -- bunyi yang tidak menyenangkan. Wajar saja, kedua lonceng itu dibunyikan hanya ketika musuh datang menyerang Kerajaan Sriwijaya.
Hanya ketika musuh datang menyerang Kerajaan Sriwijaya.
Prajurit yang berada di atas geladak mulai berlari kesana kemari. Vijayasastra adalah orang pertama yang memanjat tiang layar untuk kemudian berdiri di atas tiang melintang. Ekspresi wajahnya yang menunjukkan kecemasan ketika ia turun dari atas tiang membuat Udayaditya ikut -- ikutan khawatir. Ia melemparkan pandangannya ke lautan lepas dan sama sekali tidak melihat adanya musuh atau kapal lain selain angkatan laut Sriwijaya di utara Selat Bangka. Udayaditya menghampiri Vijayasastra