Joko Wangkir berpikir sejenak. Permintaan yang diluar kebiasaan.
"Apakah semuanya nyaman menggunakan tombak ganda, Limawijaya?"
"Sebagian besar, panglima. Tidak semua."
"Kalau begitu persenjatai mereka yang nyaman dengan tombak ganda. Yang tidak, biarkan mereka bebas memilih. Apakah dapat diterima?"
"Baik, panglima. Perintahmu akan aku laksanakan."
***
Joko Wangkir menatap lapangan rumput luas di hadapannya. Lapang rumput itu sangat luas berupa dataran, namun melandai di sebelah barat, timur, dan selatan. Beberapa pohon tinggi menjulang hadir di lapang rumput. Selain pohon dan bongkah batu yang besar, tidak ada tempat bersembunyi di dataran itu.
"Unggun Krama, kau adalah kunci pertempuran ini. Bertahanlah selama mungkin. Pertahankan formasi pertarungan. Jangan biarkan musuh mendobrak. Hanya Iyang Taslim dan pasukan pemuda Dieng yang berdiri di antara kau dan istana Medang."
Unggun Krama mengangguk, "Tenang, panglima. Aku melakukan sesuai dengan ajaranmu. Aku menempatkan orang -- orang terkuat di barisan belakang dan sayap. Aku akan menerapkan taktik pengepungan. Terlebih, nanti ada Anggabaya dan Limawijaya."
Joko Wangkir tersenyum bangga, "Kau adalah ksatria terkuat dan terpintar. Seluruh harapan rakyat Medang ada di pundakmu. Baik, sekarang ambil posisi! Siwa bersamamu."
Unggun Krama sekali lagi mengangguk dan memacu kudanya menuruni bukit menuju pasukan. Para prajuritnya bersenjata lengkap, menggunakan pedang, tameng kayu, dan beberapa menggunakan pakaian besi. Beberapa di antara mereka menggunakan kuda, terutama para prajurit yang berada di samping pasukan.