Sebuah geraman hadir dari mulut Anggabaya.
"Sudahlah, panglima, Anggabaya. Mari ke meja makan. Hidangan sudah disiapkan. Teman -- temanmu sudah menunggu di sana."
Joko Wangkir, Anggabaya, dan Awan Senggana melangkah menuju ruang makan. Iyang Taslim, Limawijaya, dan Unggun Krama telah menunggu mereka di sana. Ketiganya berdiri dan memberi salam ketika melihat sang panglima memasuki ruangan.
"Kau lihat itu, Anggabaya, seperti itulah seharusnya seorang bawahan bersikap kepada atasannya."
Geraman lain hadir dari mulut Anggabaya.
Joko Wangkir memulai santap malamnya dengan mencomot pisang goreng. Anggabaya langsung memenuhi piringnya dengan sangu dan sepotong ayam bakar.
Sembari memamerkan deretan gigi putihnya, Awan Senggana berucap, "Aku sudah menyiapkan para pemuda desa dengan lembing -- lembing mereka. Aku berharap para pemuda Dieng dapat membantu."
Joko Wangkir membalas, "Sejujurnya aku tidak ingin menggunakan mereka, Senggana. Mereka tidak punya pengalaman dan pengetahuan bela diri. Tenang saja, dengan perhitunganku dan formasiku, musuh pasti akan tertumpas."
"Lucu, panglima, dulu kau tidak setenang ini. Ketika kita terakhir bertemu di ruang pertemuan istana, mukamu adalah yang paling menunjukkan ketegangan. Terlebih ketika Anggabaya ini membuat ulah."
Geraman ketiga hadir dari mulut Anggabaya di ruangan itu.
"Aku bukanlah petarung terhebat di Kerajaan Medang ini, kawan. Dan ketika sang petarung terhebat itu memberikan aku janji untuk menahan musuh, aku percaya padanya. Aku percaya ia memegang kata -- katanya."