"Ya, hari -- hari kami di Palembang diisi dengan latihan memberi salam pada masing -- masing orang. Pada pengemis pun kami membungkuk," Udayaditya menjawab setengah bercanda, diikuti dengan tatapan sebal dari Rakai Pikatan.
"Kerajaan Sriwijaya adalah panutan dari seluruh kerajaan yang berada di nusantara ini. Perdangangan kalian berjalan lancar. Aku sering mendengar berita -- berita pedagang -- pedagang yang berasal dari India berlabuh di Palembang. Mereka memuji hasil alam dan pembuatan kain yang rakyat lakukan."
"Satu hal yang pasti, rakyat kami adalah pekerja keras. Segala kemakmuran di Kerajaan Sriwijaya adalah hasil rakyat yang bekerja bersatu padu."
"Tidak adakah keluhan yang berasal dari rakyat, yang ditujukan kepada para tetinggi?"
"Tentu saja, kawan, tentu ada yang tidak puas dengan keputusan para tetinggi. Dalam sebulan anjungan istana bisa kedatangan hingga lima orang paling banyak."
"Sungguh hebat, kerajaan kami bisa kedatangan rakyat hingga puluhan orang. Hal itu bahkan membuat mahapatih melimpahkan tugasnya pada bawahannya, dan hanya menerima permintaan -- permintaan penting saja."
"Tentu saja, kerajaan Medang baru saja berdiri. Apa yang dapat diharapkan dari sebuah kerajaan kecil di tengah Pulau Jawa ini?" sebuah balasan menyebalkan mengalir dari Udayaditya namun Rakai Pikatan memilih untuk mengabaikannya.
"Dalam perjalanan menuju Prambanan, kau tentu melihat rakyat Medang bukan?" tanya Rakai Pikatan.
"Ya aku melihat mereka. Nampaknya mereka orang baik -- baik."
"Betul, walaupun baru saja berdiri, kami membanggakan rakyat kami yang ramah dan patuh terhadap negara. Berbeda dengan kelompok barbar yang selalu mengganggu kalian di utara itu." Kali ini Rakai Pikatan yang menyindir Udayaditya.
"Ah, si kelompok barbar. Aku baru sekali bertemu dengan mereka dari samping daratan. Untung saja kapal laut Sriwijaya amat cepat. Kalau tidak tombak mereka sudah menemui leherku!" Udayaditya membanggakan kehebatan Sriwijaya yang lainnya.