Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rakai Pikatan 3 [Novel Nusa Antara]

27 Desember 2018   08:48 Diperbarui: 27 Desember 2018   08:51 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Matahari telah lama meninggalkan cakrawala ketika rombongan Mpu Panca bertemu dengan Joko Wangkir. Melepas lelah, para prajurit segera beristirahat pada padepokan yang merupakan milik Bupati Dieng. Ubi hangat segera dihidangkan untuk melepas lapar. Sedangkan para petinggi dipersilakan untuk menuju pendopo Bupati Dieng untuk menikmati santap malam, tidak terkecuali Rakai Pikatan. Suara jangkrik menghiasi keheningan malam.

Rakai Pikatan adalah orang terakhir yang memasuki ruang makan pendopo. Ruang makan pendopo Dieng bukanlah ruang yang begitu besar dibandingkan ruang makan pendopo Prambanan. Di satu sisi terlihat meja makan beserta para petinggi di sisinya, sedangkan di seberang ruangan merupakan pajangan berbagai macam karya seni seperti lukisan, patung, dan alat -- alat musik. Rakai Pikatan ingat saat ia berkunjung ke pendopo ini dahulu saat diperkenalkan sebagai calon pewaris takhta, Perang Kalingga adalah lukisan yang paling menarik perhatiannya. Di lukisan tersebut ia melihat dua orang sedang mengacungkan senjata kepada prajurit -- prajurit yang mengepung mereka. Pada latar belakang terlihat istana Kalingga yang terbakar. Kini ia melihat lukisan itu tepat pada tempatnya, serta kembali mendapatkan rasa kagum yang luar biasa.

Seorang wanita paruh baya menghampiri Rakai Pikatan, "Rakai Pikatan. Selamat datang di Kabupaten Dieng. Mari, kita santap makanan yang sudah disiapkan."

Rakai Pikatan mengangguk, namun sejujurnya ia merasa sangat lelah setelah pengalaman hari ini dan harus mengejar rombongan yang berjarak jauh. Ia mengutarakan maksutnya, "Bi Suciwati, maafkan daku, namun daku sedikit agak lelah pada perjalanan hari ini. Diperkenankanlah diriku untuk melangkahkan kaki menuju ruang tidur."

"Tidak sopan jika tidak mengalamatkan salam kepada tuan rumah, pemuda. Aku sebagai nyonya tanah mendesakmu untuk setidaknya duduk di meja makan walau hanya sebentar," Suciwati mendesak Rakai Pikatan untuk menempati tempat yang sudah disediakan.

Rakai Pikatan perlahan menuju meja makan dan duduk pada kursinya. Di atas meja telah tersedia hidangan gulai dan opor ayam. Ia enggan mememeriksa ke sekeliling meja siapa saja yang berada di sekitarnya, namun dari suara tawa yang menggelegar ia dapat memastikan Anggabaya berada di salah satu kursi. Dan sebuah suara ringan yang menyebalkan.

Tepat pada posisi menyilang di seberangnya, ia dapat melihat Bupati Dieng Awan Senggana duduk dengan senyuman khasnya, dan di seberangnya, atau di sebelah Rakai Pikatan, adalah mahapatih kerajaan, Ario Senopati. Ini akan menjadi waktu paling menyebalkan di dalam hidupku. Rakai Pikatan mencicip opor ayam dan sangu di depannya, serta bersyukur bahwa masih ada hal baik yang dewa berikan di atas meja makan tersebut.

Dengan wajah bersih dan senyum yang putih mengilat, Awan Senggana mencoba memulai percakapan, "Selamat datang di Dieng, wahai pewaris takhta. Engkau pasti lelah, silakan beristirahat dan menyantap hidangan nikmat yang sudah disiapkan nyonya rumah."

Rakai Pikatan mengangguk dan tersenyum. Ario Senopati menambahkan, "Kudengar kau mendapat bencana siang ini. Aku harap kau tidak mengalami luka," Ario Senopati berhenti sebentar, membuat hati Rakai Pikatan sedikit tersentuh, namun ketika ia melanjutkan, "sebagai pewaris takhta kau juga tidak boleh ceroboh dengan meninggalkan rombongan jauh di depanmu. Kesalahan kecil dapat berakibat fatal bagi seluruh kerajaan," disambut Rakai Pikatan dengan sebuah anggukan terpaksa terhadap nasihat Ario Senopati. Sudah kuduga. Orang ini memang tidak menyukaiku. Bagaimana dengan Putri Pramodawardhani yang berkelana sendirian ke candi yang belum diberi nama itu? Tidak adakah yang mempertanyakannya?

Awan Senggana mengalihkan pokok pembicaraan, "Bagaimana rencana tuan terhadap kedatangan Balaputradewa esok hari? Aku yakin dari sisi keprajuritan tidak perlu dipertanyakan. Joko Wangkir seharian memoles formasi perang dan teknik bertarung para prajurit. Selain itu ia memeriksa semua tombak, pedang, serta panah yang akan dipakai untuk bertarung. Namun aku melihatmu tanpa ada suatu tindakan. Apa yang akan kau lakukan besok?"

Benar, tidak ada yang bisa menebak isi kepala Ario Senopati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun