Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rakai Pikatan 3 [Novel Nusa Antara]

27 Desember 2018   08:48 Diperbarui: 27 Desember 2018   08:51 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Memiliki Anggabaya di rombongan ini memiliki sisi positif tersendiri. Ia mencairkan suasana. Padahal mungkin ini adalah pertemuan terpenting kerajaan dalam sepuluh tahun terakhir: menghadapi Balaputradewa.

Dari seluruh petinggi kerajaan, hanya raja, Mpu Galuh, dan Jasabhana yang tinggal di istana. Sisanya berangkat. Seratus pasukan berkaki disiapkan sebagai antisipasi Balaputradewa melakukan serangan awal. Namun dari laporan yang diterima oleh anak buah Mpu Panca di Kalingga, tidak terlihat menurut pantauan di laut bahwa Balaputra akan membawa pasukan laut dalam jumlah besar. Ia memprediksi bahwa paling banyak hanya sepuluh kapal galangan akan datang pada pelabuhan Kalingga. Sepuluh kapal pun banyak, bodoh, pikir Rakai Pikatan.

Sementara itu pasukan kedua yang dipimpin langsung oleh Joko Wangkir sudah berada di kaki Gunung Dieng. Mereka berangkat dan menyiapkan diri lebih awal, mengatur formasi pasukan, berlatih tanding, serta mempersiapkan alat -- alat perang. Rakai Pikatan sebenarnya tidak menampik bahwa seratus pasukan berkaki yang melakukan perjalanan panjang bersamanya hanyalah sebuah tata cara di hadapan raja dalam menyambut tamu. Pasukan utama tetap berada di bawah kendali Joko Wangkir, dan seandainya perang terjadi, dapat diantisipasi dengan cepat.

Dari kotaraja menuju Kalingga membutuhkan waktu dua hari perjalanan. Pasukan Rakai Pikatan berencana untuk sampai di kaki Gunung Dieng pada waktu petang, beristirahat, dan menyambut Balaputradewa keesokan harinya berasama pasukan Joko Wangkir pada waktu matahari berada di tengah -- tengah ufuk barat.

Satu yang menjadi masalah adalah utusan yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Ia menyampaikan kedatangan Balaputradewa tepat sesuai dengan hari dan waktu kedatangan. Samaratungga tahu bahwa Balaputra adalah orang yang akurat dan tidak perlu diragukan tingkat kepercayaannya. Namun ketika raja bertanya berapa orang yang akan dibawa oleh Balaputradewa, sang utusan diam seribu bahasa. Raja bisa saja mengancam akan membunuh utusan tersebut, tetapi dilihat dari gerak -- gerik sang utusan, raja menyimpulkan rahasia itu akan dibawa bersamanya ke liang kubur seandainya ia berhadapan dengan pedang tajam.

Waktu telah menunjukkan siang hari tanda matahari berada di tengah -- tengah langit biru tidak berawan. Pasukan yang dipimpin Rakai Pikatan kini telah melintasi daerah Ngawen, sebuah daerah di tepi Sungai Progo, sungai yang melintasi Kerajaan Medang dari utara sampai selatan dan bermuara pada Laut Kidul. Pemandangan indah yang disajikan membuatnya tidak bosan -- bosan memandang kearah hamparan sungai. Air jernih dan dangkal, disertai dengan bebatuan yang terkadang memecah gelombang menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, letak Sungai Progo yang berada dekat dengan Gunung Merapi menjadikannya kaya dengan batuan vulkanik seperti andesit, batu lava, dan batu granit. Tidak jarang ia melihat orang yang sedang mengumpulkan batu andesit di tengah -- tengah sungai untuk dijual dan kemudian menjadi bahan dasar candi.

Keindahan Sungai Progo membuat Rakai Pikatan lupa daratan. Begitu tersadar, ia sudah terpisah jauh dari rombongan. Rakai Pikatan tidak panik mengingat jalur menyusuri Sungai Progo merupakan jalur tercepat menuju kaki Gunung Dieng. Jadwal yang ia tetapkan bersama Mpu Panca selaku pemimpin rombongan bahwa mereka akan tiba di bawah kaki Gunung Dieng pada malam hari. Kalau hanya bersantai sedikit, tentu akan terkejar.

Derap langkah kaki kuda terdengar dari balik jalan yang berbelok di depan Rakai Pikatan. Sesaat kemudian pemilik kuda tersebut memunculkan diri di depan Rakai Pikatan. Raka Saputro. Ia adalah ksatria yang berada di sebelah Anggabaya di awal perjalanan tadi. Sosoknya tidak begitu besar, hanya ia memiliki sosok lebih ideal daripada rata -- rata orang di daerah asalnya, Blambangan, dimana pekerjaan orang kebanyakan adalah nelayan sehingga menyebabkan penduduk memiliki kulit kering, hitam legam, dan kurus layaknya kayu hutan yang siap untuk dibakar.

"Panglima menyuruhku untuk menjemputmu, Rakai Pikatan. Ia mengharapkan engkau tidak terlalu jauh dengan rombongan pasukan." cetus Raka Saputro.

Yang aku sukai dari ksatria ini adalah kesopanannya. Berbeda sekali dengan si gendut sialan itu. "Tenang saja, kawan. Tidak ada jalan lain menuju kaki Gunung Dieng. Oke, sebenarnya ada, namun jalan ini adalah jalan tercepat. Lihat saja, tidak lama lagi kita akan menyebrangi jembatan penyebrangan di depan sana." Rakai Pikatan menunjuk sebuah jembatan yang melintasi Sungai Progo pada jarak kurang lebih dua puluh depa di depannya.

Raka Saputro memutar dan memacu kudanya di samping Rakai Pikatan. Tidak lama kemudian mereka telah sampai di depan jembatan. Jembatan berukuran kecil, hanya dapat dilalui oleh dua kuda saja. Segera Rakai Pikatan dan Raka Saputro melangkah menuju jembatan. Ketika berada di tengah jembatan, hal yang tidak dibayangkan oleh Rakai Pikatan terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun