Mohon tunggu...
Dimar Pamekas
Dimar Pamekas Mohon Tunggu... -

Hanya seorang penulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ilusi / Fakta

8 September 2010   09:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jess.. Jessica…”

<><><><><><><><><><><>

Sudah tiga hari. Tiga hari, ya, tiga hari sejak kematiannya karena kecelakaan mobil yang naas itu. Dan dalam tiga hari itu pula, aku hanya meringkuk di kamarku saja, tanpa melakukan apa-apa lagi. Potret dirinya masih tergenggam di tanganku, selama tiga hari pula. Dan aku tidak makan ataupun minum, tidak mandi dan tidak melakukan apapun, selama tiga hari pula.

Orang bilang aku gila. Orang lain bilang aku hanya merasakan shock, dan mereka juga bilang bahwa beberapa hari lagi aku akan pulih, dengan kesoktahuan mereka. Ada juga yang bilang aku butuh hiburan, bahwa aku terlalu bergantung padanya. Tahu apa mereka? Semuanya salah, salah, salah besar. Beberapa ‘teman’ ku mulai menjauh. Ada juga yang kasihan, merasa iba padaku, seolah-olah aku ini seorang tunawisma yang sudah beberapa hari tidak makan.

Mereka semua salah. Salah besar. Aku benar-benar sadar, aku tidak shock, aku tidak butuh hiburan. Aku hanya terobsesi. Terobsesi padanya. Sungguh aneh, seorang pemikir yang rasional sepertiku bisa dengan mudah terpuruk pada keadaan seperti ini. Tapi kalau kau merasakan hal yang sama sepertiku, kau takkan lagi menganggapnya aneh.

Aku masih meringkuk. Fotonya, potret dirinya yang kusimpan sudah kusut karena terus kupegang dengan tangan yang dipenuhi keringat. Keringat dingin. Senyumannya, wajahnya, gerak-gerik dan tingkah lakunya masih terbayang dengan jelas, sangat jelas bagiku. Aku jadi berpikir, apa yang akan dia katakan melihatku seperti ini? Mungkin seperti “Wajahmu berantakan banget” atau “Aduh, kenapa kamu gitu sih” atau semacam itulah. Sebuah senyuman kecil hinggap di bibirku, namun itu semua bak cahaya lilin yang meredup.

Air mata kembali keluar dari mataku. Aku tak bisa lagi menahan penderitaan ini. Hatiku serasa hilang, menghilang, hancur berkeping-keping tanpa sisa. Tapi, saat aku menghapus air mataku, mendadak ia sudah muncul kembali. Muncul, muncul di sana, di depanku dengan sebuah senyuman tulus yang hanya miliknya seorang.

“Jessica? Jess? Itu.. kamu? Tidak mungkin..”

Dia hanya membalas dengan mengangguk seyakin-yakinnya.

<><><><><><><><><><><>

Dalam beberapa hari yang berlalu sesudahnya, hidupku kembali berjalan seperti biasa bersamanya. Kami berencana untuk menikah, tapi hanya setelah aku menyelesaikan kuliahku. Dia bilang aku terlalu terburu-buru, dan aku menuruti saja apa perkataannya. Kulalui hari-hari dengan penuh semangat, seakan untuk membayar hari-hari kelamku saat kuanggap dia meninggal. Dia memang masih hidup, masih hidup, dan sekarang tinggal bersamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun