<><><><><><><><><><><>
Ah, sungguh banyak kenangan yang aku alami bersamanya. Baik pahit maupun manis, dia selalu ada mendampingiku, ada di saat aku membutuhkannya. Aku tersadar dari lamunanku dan keluar dari tempat tidur yang selalu jadi tempat berimajinasiku itu. Aku pergi ke dapur dan kemudian menyeduh kopi sebagai teman menjalani pagi hari.
Bayangan dirinya kembali menjajah pikiranku, dan aku membiarkannya. Itu hal yang wajar, bahkan bagi seorang pemikir sepertiku. Sementara wajahnya terus terbayang, aku mengambil koran pagi yang tergeletak di halaman, baru saja diantarkan loper sepertinya, dan mulai membacanya. Meskipun, sebenarnya aku tidak benar-benar membacanya. Bayangan wajahnya terus mengalihkan perhatianku, dan aku hanya membaca berita yang sama berulang-ulang tanpa bahkan memerhatikan isinya.
Kebetulan, ayah dan ibuku sedang tidak ada di rumah. Mereka sedang ada perjalanan dinas, atau begitulah kata mereka. Aku tidak peduli alasan apapun yang mereka katakan, aku tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tapi aku membiarkan mereka, sedikit banyak karena aku terlalu banyak memikirkan dia, sebagian juga karena aku mungkin ingin membalas kebaikan mereka yang sudah merestui pernikahanku dengannya.
Yang penting, aku ada disini dan seminggu lagi aku akan menikah dengannya. Hanya itu. Kopi kuhabiskan dan aku kembali masuk ke dalam rumah, menyalakan komputerku dan mengakses internet untuk melihat e-mail yang masuk. Bahkan sebelum pernikahan dilaksanakan, beberapa ‘teman’ ku sudah memberi ucapan selamat. Beberapa dari mereka sampai menghias e-mail mereka itu, seolah-olah e-mail itu semacam kartu ucapan selamat yang sering aku dapatkan saat lebaran atau tahun baru. Aku tak pernah, sekalipun tak pernah, bisa mengerti apa maksud mereka bersusah-susah membuatnya begitu, kalau nantinya akan kuhapus juga?
Seselesainya mengecek e-mail, aku kembali mematikan komputerku dan mengambil hp-ku, dan kemudian pergi ke halaman rumah. Entah mengapa. Mungkin aku hanya ingin sekedar cari angin saja? Ini masih pagi, dan udara di dalam rumah juga sejuk, jadi tidak, bukan untuk itu. Apa karena aku kesepian, di rumah sendirian? Tidak, semestinya aku pergi keluar kalau begitu, atau menghubungi dia. Jadi kenapa?
Insting kah?
Dorongan kah?
Firasat kah?
Mungkin firasat. Mungkin, tapi aku tak bisa memastikan. Firasat bukanlah sesuatu yang bisa ditebak, meskipun sering terjadi. Bukan juga sesuatu yang bisa dirasakan dengan mudah, meskipun merupakan hal yang wajar bila merasakannya. Hanya saja, firasat yang kurasakan terasa aneh. Mungkin ini firasat buruk, tapi tidak pernah seberat dan sekelam ini. Tiba-tiba saja suasana hatiku berganti menjadi kelabu.
Aku semakin merasa aneh. Hatiku mulai terasa seperti tersayat tanpa ada apa-apa. Apa terjadi sesuatu? Tidak, aku tidak boleh memikirkan hal seperti itu. Tidak boleh, tidak boleh sekalipun. Tapi apa, kalau begitu? Apa? Ah, sudahi saja lamunan tak penting seperti ini. Aku kembali masuk ke dalam rumah, tapi perasaanku malah bertambah gelisah. Tanpa sadar aku mondar-mandir kesana kemari, seperti orang yang kurang kerjaan.