Mohon tunggu...
Humaniora

Relasi Beras dan Kursi dalam Karya Hunger Inc

17 November 2015   20:10 Diperbarui: 18 November 2015   20:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Gambar 1. Instalasi HUNGER INC. karya Elia Nurvista dan Fajar Riyanto

 

S E L A Y A N G    P A N D A N G

Hunger inc. merupakan salah satu dari sekian karya yang terpajang di Jogja National Museum Yogyakarta dalam rangka pameran Biennale Jogja XIII yang bertema “Hacking Conflicts”. Karya instalasi dengan dimensi 1,8 m x 0,7 m x 2 m ini merupakan hasil kreasi dua seniman Yogyakarta bernama Elia Nurvista dan Fajar Riyanto.

Hunger inc. dibuat dengan cara menyusun 25 buah karung beras beserta isinya menjadi tumpuk empat dengan sebuah kursi berkaki tiga tanpa sandaran yang diletakkan sejajar dengan lapisan terbawah tumpukan beras. Kursi tersebut berperan sebagai penyokong karung beras di sekitarnya. Selain itu, terlihat pula sebagian beras yang berceceran di bagian bawah tumpukan karung beras serta beberapa karung beras yang isinya berkurang atau bahkan kosong.

Di depan masing-masing karung, terdapat logo Hunger inc. yang sangat mirip dengan logo Bulog; delapan buah telapak tangan menengadah berwarna oranye dengan formasi menyerupai ruji-ruji lingkaran atau bilah-bilah kipas angin beserta tulisan sans serif Hunger inc berwarna biru donker di bawahnya.

L E B I H   J A U H    M E N G E N A I    H U N G E R    I N C.

Instalasi Hunger inc. dibuat dengan menggunakan 25 buah karung beras  semi transparan dengan garis berwarna oranye (#df5829) di kedua sisi sampingnya. Karung-karung tersebut berisi beras yang warnanya kekuningan. Selain itu, karya di atas juga menggunakan material kursi kayu berkaki tiga warna coklat asli kayu (#916d44 - #281309) tanpa sandaran. Kursi tersebut diletakkan di bagian kanan instalasi, menyatu dengan tumpukan karung beras sebagai penopang tumpukan beras di atas dan di sampingnya kanan kirinya.

Di bagian depan karung, terdapat logo yang desainnya sangat mirip dengan logo Bulog. Logo tersebut berukuran 25 cm x 30 cm dengan gambar 8 tangan kiri menengadah berwarna oranye (#df5829)  dengan formasi seperti ruji-ruji lingkaran dan ujung jari menghadap ke luar lingkaran. Di bawah obyek tersebut, terdapat logotype Hunger inc. dengan huruf kapital sans serif berwarna biru tua (#284293).

Beberapa karung yang terdapat di dalam instalasi tersebut tampak sudah berkurang isinya, bahkan ada yang tinggal karungnya saja. Pemandangan tersebut didukung oleh beras yang berceceran di sekitar tumpukan karung dan kaki-kaki kursi.

M A K N A

Parodi Bulog

Parodi Bulog adalah impresi yang akan langsung kita dapatkan ketika melihat karya instalasi ini. Logogram Hunger inc. yang terang-terangan mencomot desain logo Bulog dimaksudkan untuk membuat orang langsung memahami latar belakang dan konteks instalasi Hunger inc.

Dilansir oleh Tempo.com, pada tanggal 14 Agustus 2015, terjadi penggrebekan kasus raskin (beras untuk rakyat miskin) di Cibinong, Bogor. Raskin yang seharusnya disalurkan oleh Bulog ke rakyat  miskin, justru dioplos dan diselewengkan demi kepentingan ekonomi pihak-pihak tertentu. Sebelumnya, pada tanggal 30 Juni di tahun yang sama, kepala desa Bunten Barat, Sukaryadi, dilaporkan atas kasus dugaan penggelapan bantuan beras miskin tahun 2012-2014. Tempo juga melansir bahwa 400 ribu ron raskin tidak sampai pada sasaran pada tahun 2010, sementara trendnya terus meningkat dari tahun 2004-2010. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi kesenjangan realisasi raskin di lapangan.

Bulog yang bertugas menyalurkan raskin kepada rakyat yang membutuhkan, tentunya menjadi aktor utama yang patut dipersalahkan dalam kasus penyelewangan ini. Oleh karena itu, Elia dan Fajar memarodikan Bulog menjadi Hunger inc. yang artinya ‘Perusahaan (Pencipta) Kelaparan’ (tidak bisa secara harfiah diterjemahkan menjadi ‘Perusahaan Kelaparan’). Sumber dana raskin yang berasal dari rakyat untuk kemudian seharusnya kembali disalurkan kepada rakyat yang membutuhkan, justru diselewengkan oleh oknum-oknum yang berkuasa sehingga menyebabkan defisit dalam neraca distribusi raskin. Defisit tersebutlah yang disebut “kelaparan”, karena penyelewengan tersebut berarti terampasnya hak masyarakat miskin untuk terhindar dari kelaparan.

Hunger inc. mencoba mendekonstruksikan Bulog dalam format parodi. Bulog yang selama ini dipandang sebagai suatu instutisi penyalur beras bagi rakyat miskin, dirombak maknanya oleh Elia dan Fajar menjadi suatu instansi yang justru menciptakan kelaparan atau merampas hak sebagian rakyat miskin untuk terhindar dari kelaparan.  Simbol tangan berwarna oranye dengan formasi ruji-ruji lingkaran yang selama ini melekat dengan Bulog, didekonstruksi dan dilabeli ulang dengan nama Hunger inc., sesuai dengan realitas yag ditangkap oleh kedua perupanya.

Logo Hunger inc.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, logo Hunger inc. dapat dikatakan hampir persis dengan logo Bulog; delapan buah telapak tangan menengadah berwarna oranye dengan formasi menyerupai ruji-ruji lingkaran atau bilah-bilah kipas angin beserta tulisan sans serif Hunger inc berwarna biru donker di bawahnya. Logogram Hunger inc. (dan juga Bulog) menunjukkan telapak tangan manusia yang terbuka ke berbagai arah dengan arah tangan mengikuti pola jarum jam.

Asumsi gerakan ke kanan mengikuti arah jarum jam tersebut muncul ketika kita menilik kembali bagaimana proses memberi-menerima terjadi; ketika ada permintaan/kebutuhan, maka saat itu akan ada alasan bagi orang untuk memberi. Dengan titik awal tangan menuju ke atas (menunjuk angka 12, dalam arah jarum jam), maka gerakan tangan yang akan terlihat adalah menengadah (meminta/membutuhkan) dulu, barulah kemudian gerakan tangan menjadi menelungkup (memberi).

Dalam konteks logo Bulog, hal tersebut dapat dimaknai sebagai ‘perputaran’; raskin yang dananya diperoleh dari pajak dari rakyat yang kemudian akan didistribusikan lagi kepada rakyat yang membutuhkan. Simbol tangan digunakan untuk menggambarkan tindakan memberi dan menerima.

Namun, dalam konteks Hunger inc., ‘perputaran’ ke arah kanan (searah jarum jam) tersebut mengarah kepada kursi yang diletakkan di sebelah kanan. Terdapat beberapa makna yang kemudian muncul dari hal tersebut. Pertama, sebenarnya selama ini Bulog justru memiliki kecenderungan untuk menguntungkan orang-orang yang memiliki kekuasaan, terutama yang terkait dengan Bulog, secara ekonomi. Hal tersebut terbukti dari maraknya penyelewengan raskin yang ironisnya justru dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang mendistribusikannya.

Kedua, program Bulog itu sendiri dimunculkan untuk membangun fondasi hierarki sosial dan hierarki kekuasaan antara pemerintah dan rakyat jelata. Dengan adanya status pemberi dan penerima, maka otomatis akan muncul kedudukan superior dan inferior. Ide-ide yang berasal dari hierarki yang lebih tinggi, biasanya akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, akan lebih mudah menerima sosok Lady Gaga yang memakai gaun berbahan daging ketimbang orang awam yang melakuan hal yang sama. Selain itu, ketika rakyat kenyang, pemerintah akan lebih mudah menggelontorkan ide, program atau kebijakan mereka ke publik. Sebaliknya, rakyat akan mudah dimobilisasi oleh pihak oposisi pemerintah untuk melakukan demonstrasi ketika mereka kelaparan.

Kegiatan memberi dan menerima ini juga merupakan suatu permainan hierarki sosial, dimana seolah-olah pemerintahlah yang menjadi penyandang dana atas program-program bantuan bagi rakyat miskin ini. Padahal, sumber dana justru sebagian besar berasal dari rakyat juga (dalam bentuk pajak).

Relasi beras, kursi dan hierarki sosial

Makanan adalah salah satu syarat yang paling esensial untuk bertahan hidup. Karenanya, secara denotatif makanan adalah, seperti yang telah disebutkan, unsur untuk bertahan hidup (Danesi, 2010: 224). Beras, yang termasuk dalam golongan (bahan) makanan, tentunya dapat dengan mudah diinterpretasikan sebagai salah satu unsur bertahan hidup. Kemudian, kode-kode mengarahkan interpretasi pada sebuah konteks (Danesi: 2010, 25). Dalam kode sosial di negara-negara agraris Asia seperti Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan kode simbolik dan kebudayaan, beras kerap dikonotasikan sebagai lambang kemakmuran, kejayaan, kekuatan, kesejahteraan dan kenyamanan.

Bahkan, pada periode pemerintahan orde baru, swasembada beras dijadikan salah satu tolok ukur kemakmuran negara. Sementara, obyek utama kedua dalam karya instalasi di atas yaitu kursi, merupakan salah satu simbol kekuasaan yang paling sering digunakan. Kursi mampu memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Kekuasaan dan kemakmuran menciptakan hierarki sosial di dalam masyarakat; ketika seseorang memiliki salah satu atau keduanya, maka ia akan dinilai lebih superior dibandingkan mereka yang memilikinya dalam jumlah lebih sedikit atau bahkan tidak memilikinya sama sekali.  

Barthes menyebutkan tatanan pertama dalam lapisan makna sebagai denotasi. Denotasi adalah proses yang melaluinya diciptakan makna sehari-hari yang melaluinya diciptakan makna sehari-hari yang jelas dan sesuai dengan akal sehat (Barton, 2010: 108). Dalam instalasi Hunger inc., beras dan kursi memiliki relasi yang sangat kuat dan secara logis dapat langsung dikaitkan dengan kemakmuran dan kekuasaan. Kedua unsur tersebut secara denotatif menceritakan kasus penyelewengan beras Bulog, kemudian secara konotatif dapat dimaknai sebagai relasi antara kemakmuran dan kekuasaan yang pada akhirnya menciptakan suatu hierarki sosial.

Secara denotatif, kursi yang mengganjal tumpukan karung tersebut dapat dimaknai sebagai kebolongan/ kebocoran distribusi beras yang dapat ditutupi (secara visual diganjal) oleh kursi (kekuasaan). Sementara, beras yang berceceran dan karung-karung kosong  atau berkurang isinya menggambarkan kebocoran/ penyelewengan beras yang selama ini terjadi di dalam tubuh Bulog.

Dalam perspektif yang lain, kursi di dalam instalasi itu bukan dipersepsikan sebagai pengganjal, namun karung-karung beras tersebut tadinya justru memang sengaja diletakkan di atas kursi, namun karena sudah melebihi kapasitas kursi itu sendiri, maka kemudian karung-karung tersebut berjatuhan sampai berceceran di sekitar kursi. Makna konotasi lain yang muncul  dari perspektif ini adalah mengenai prasyarat memperoleh beras (kemakmuran) itu sendiri. Kursi (posisi/jabatan/kekuasaan tertentu) dipandang sebagai suatu tingkatan sosial yang harus dicapai untuk memperoleh beras (kemakmuran). Oleh karena itu, Elia dan Fajar menampilkan sebuah kursi yang berlimpah beras berkarung-karung (posisi/ jabatan berlimpah kemakmuran) sebagai simbolisasinya.

Selain itu, lapisan tumpukan karung beras yang berjumlah empat juga secara konotatif memiliki makna tersendiri. Jumlah tumpukan tersebut menggambarkan tingkatan hierarki dalam distribusi raskin; pemerintah pusat, Bulog, pemerintah daerah, dan yang paling bawah adalah rakyat miskin.

Tatanan kedua dalam signifikansi yang diidentifikasi oleh Barthes disebutnya konotasi. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dlam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makna. Petanda dalam level ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang di dalamnya pembaca, pendengar, atau pengamat tanda memaami dan menafsirkannya (Barton, 2010: 108).

Secara konotatif, relasi kursi dan beras (kekuasaan dan kemakmuran) dapat dimaknai sebagai suatu proses rekayasa atau permainan kedudukan dan pengaruh sosial di  masyarakat (khususnya Indonesia). Beras dan kursi (kemakmuran dan kedudukan) dalam instalasi ini ditata sedemikian rupa untuk mendekonstruksi anggapan mengenai superior-inferior, atau lebih tepatnya membongkar habis-habisan permainan pembentukan hierarki sosial yang terkait dengan dua variabel tersebut. karya Hunger inc. ini dimaksudkan sebaga aksi resistensi dan penawaran paradigma baru mengenai bagaimana hierarki sosial terbentuk di masyarakat.

Terdapat beberapa makna yang kemudian muncul ketika kita menggali lebih dalam makna karya Hunger inc. ini. Pertama, hierarki sosial (superior-inferior) adalah suatu hasil rekayasa. Orang-orang dengan kedudukan (kursi) mampu menghimpun dana/kemakmuran (beras) dari rakyat, yang kemudian ditimbun dan sebagian dikembalikan lagi kepada rakyat yang membutuhkan. Secara kasat mata, terjadi proses memberi oleh orang yang berkedudukan dan aksi menerima yang dilakukan masyarakat miskin.

Dalam hampir seluruh tatanan kebudayaan, tentunya si pemberi dinilai superior sementara penerima dipandang inferior. Padahal, sumber dana pemberian tersebut berasal dari rakyat juga, dan orang berkedudukan (pejabat) hanya berfungsi sebagai penyalur. Oleh karena itu, fenomena ini kemudian disebut sebagai ‘permainan hierarki sosial’, karena kedudukan superior-inferior yang kemudian muncul, bukan berasal dari nilai sebenarnya dari kedua belah pihak yang terlibat.

Makna kedua yang muncul adalah dekonstruksi mengenai kemakmuran dan kedudukan. Selama ini, kita memandang bahwa kemakmuran akan membawa orang pada suatu kedudukan (tingkat hierarki sosial) yang lebih tinggi. Namun, dalam prakteknya di ranah pemerintahan, seseorang biasanya memperoleh kedudukan untuk mengejar kemakmuran. Hal tersebut terbukti dengan tingginya tingkat korupsi yang disimbolkan dengan gundukan beras di sekitar kursi.

Makna ketiga yang muncul adalah, kemakmuran (beras) dapat difungsikan sebagai pelindung kekuasaan (kursi). Supremasi hukum yang seharusnya berlaku merata bagi semua orang, dapat dengan mudahnya dipatahkan oleh harta dan kedudukan. Hukum di Indonesia, yang diharapkan mampu melindungi semua orang tanpa terkecuali,  dalam realitasnya justru lebih sering runcing ke bawah. Karung-karung beras yang meliputi ketiga sisi kursi (kanan, kiri, atas), dapat dipersepsikan sebagai benteng yang melindungi suatu kedudukan.

Kemakmuran (harta) dapat menjadikan seseorang seolah kebal akan apapun. Hal tersebut juga merupakan salah satu bentuk permainan hierarki sosial yang menjadi ide utama makna denotatif instalasi Hunger inc. ini. Kemakmuran dan kedudukan mampu membuat seseorang melejitkan kedudukannya sendiri menjadi di atas hukum, yang seharusnya berdiri di puncak hierarki sosial.

 

Real Estate dan Penggusuran Lahan

Terdapat makna lain yang muncul dari relasi beras dan kursi dalam karya Hunger inc., ketika diletakkan dalam konteks isu lokal yang belakangan terjadi di Yogyakarta, yaitu pembangunan hotel dan perumahan besar-besaran di atas lahan-lahan pertanian. Selain dimaknai sebagai lambang kemakmuran, kejayaan dan kekuatan, beras juga dapat dihubungkan langsung dengan lahan-lahan pertanian, terutama sawah. Sementara, kursi dapat dimaknai juga sebagai habitat (tempat tinggal), selain sebagai kedudukan atau kekuasaan. Kedua hal tersebut mampu dengan kuat menyimbolkan dua variabel yang sangat berpengaruh dalam kasus kelangkaan air yang belakangan mulai melanda Yogyakarta; pembangunan hotel dan perumahan secara masif yang berakibat juga terhadap berkurangnya lahan pertanian.

Dilansir oleh detik.com, salah satu aktivis Gerakan Jogja Asat, Dodok Putra Bangsa warga kampung Miliran, Umbulharjo Kota Yogyakarta mengungkapkan bahwa sejak berdirinya salah satu hotel di Jalan Kusumanegara, warga sekitar mulai mengalami kekeringan di musim kemarau. Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah mengalami hal tersebut selama puluhan tahun menghuni kawasan Jalan Kusumanegara. Menurut Dodok, pembangunan hotel-hotel tersebut semakin menekan masyarakat miskin. Masyarakat menjadi korban kerusakan lingkungan, salah satunya adalah persoalan air bersih yang selama ini diambil dari sumur.

Tak bisa dipungkiri, meningkatnya bangunan di Yogyakarta otomatis akan menyebabkan berkurangnya daerah resapan air yang berdampak pada menyusutnya air tanah. Selain itu, sebagian lahan yang awalnya difungsikan sebagai lahan pertanian namun kemudian disulap menjadi bangunan-bangunan permanen, tentunya akan mempengaruhi produksi pangan (terutama beras) di Yogyakarta. Pola-pola inilah yang nantinya akan menggeser gaya hidup masyarakat yang tadinya produsen menjadi konsumen, karena lahan-lahan yang tadinya digunakan untuk menghasilkan bahan pangan, diubah menjadi perumahan dan hotel yang tujuannya untuk dikonsumsi.

            Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa instalasi Hunger inc., memiliki beberapa makna yang kemudian muncul terkait dengan konteks pengembangan hotel dan perumahan di Yogyakarta. Pertama, kursi yang dipersepsikan sebagai pengganjal beras dapat diartikan sebagai bangunan-bangunan permanen (tempat tinggal) yang pelan-pelan mendesak kedudukan lahan penghasil bahan makanan, terutama beras. Kedua, kursi (pengembang perumahan dan hotel) telah merampas hak-hak rakyat akan beras (kesempatan produksi bahan makanan) yang disimbolkan dengan tumpukan beras yang ditimbun di sekitar kursi. Ketiga, relasi antara berkurangnya lahan pertanian dan meningkatnya jumlah bangunan permanen (disimbolkan dengan posisi beras yang digantikan kursi)  menunjukkan terjadinya perubahan perilaku di dalam masyarakat yang tadinya produsen menjadi lebih condong ke arah konsumerisme.

P E N U T U P

Hunger inc.  menampilkan parodi yang cukup gamblang mengenai kasus Bulog yang sudah bertahun-tahun mengalami penyimpangan di sana-sini dan tidak dapat tersalur sepenuhnya dengan baik. Selain itu, dalam lapisan makna yang lebih mendalam, karya instalasi ini telah membeberkan pembentukan hierarki sosial yang selama ini direkayasa/dipermainkan oleh beberapa oknum. Rakyat dijejali dengan kesejateraan semu demi tercapainya tujuan pihak-pihak tertentu. Posisi superior-inferior diciptakan dalam tatanan masyarakat agak mereka yang berkedudukan mampu mengendalikan orang-orang yang (menganggap diri mereka) berada di lapisan bawah masyarakat. Bahkan, supremasi hukum pun mampu dipermainkan oleh harta dan jabatan.

Selanjutnya, dalam konteks pembangunan hotel dan perumahan yang berdampak pada pengurangan lahan pertanian, karya instalasi ini memiliki tiga makna. Pertama, bangunan (kursi) selama ini telah mendesak lahan pertanian (beras). Kedua, para pengembang hotel dan perumahan telah ‘merampas’ kesempatan rakyat untuk memproduksi bahan makanan. Terakhir, bangunan yang mendesak lahan tersebut telah menciptakan perubahan perilaku dari produksi menjadi konsumerisme.

DAFTAR PUSTAKA

Will Barton dan Adrew Beck. Get Set for Communication Studies, diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyudin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010)

Marcel Danesi. Messages, Signs and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory (Third Edition), diterjemahkan oleh Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari ( Yogyakarta: Jalasutra, 2010)

Tautan:

Tempo.com

Detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun