Mohon tunggu...
Humaniora

Relasi Beras dan Kursi dalam Karya Hunger Inc

17 November 2015   20:10 Diperbarui: 18 November 2015   20:34 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, program Bulog itu sendiri dimunculkan untuk membangun fondasi hierarki sosial dan hierarki kekuasaan antara pemerintah dan rakyat jelata. Dengan adanya status pemberi dan penerima, maka otomatis akan muncul kedudukan superior dan inferior. Ide-ide yang berasal dari hierarki yang lebih tinggi, biasanya akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas. Sebagai contoh, akan lebih mudah menerima sosok Lady Gaga yang memakai gaun berbahan daging ketimbang orang awam yang melakuan hal yang sama. Selain itu, ketika rakyat kenyang, pemerintah akan lebih mudah menggelontorkan ide, program atau kebijakan mereka ke publik. Sebaliknya, rakyat akan mudah dimobilisasi oleh pihak oposisi pemerintah untuk melakukan demonstrasi ketika mereka kelaparan.

Kegiatan memberi dan menerima ini juga merupakan suatu permainan hierarki sosial, dimana seolah-olah pemerintahlah yang menjadi penyandang dana atas program-program bantuan bagi rakyat miskin ini. Padahal, sumber dana justru sebagian besar berasal dari rakyat juga (dalam bentuk pajak).

Relasi beras, kursi dan hierarki sosial

Makanan adalah salah satu syarat yang paling esensial untuk bertahan hidup. Karenanya, secara denotatif makanan adalah, seperti yang telah disebutkan, unsur untuk bertahan hidup (Danesi, 2010: 224). Beras, yang termasuk dalam golongan (bahan) makanan, tentunya dapat dengan mudah diinterpretasikan sebagai salah satu unsur bertahan hidup. Kemudian, kode-kode mengarahkan interpretasi pada sebuah konteks (Danesi: 2010, 25). Dalam kode sosial di negara-negara agraris Asia seperti Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan kode simbolik dan kebudayaan, beras kerap dikonotasikan sebagai lambang kemakmuran, kejayaan, kekuatan, kesejahteraan dan kenyamanan.

Bahkan, pada periode pemerintahan orde baru, swasembada beras dijadikan salah satu tolok ukur kemakmuran negara. Sementara, obyek utama kedua dalam karya instalasi di atas yaitu kursi, merupakan salah satu simbol kekuasaan yang paling sering digunakan. Kursi mampu memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Kekuasaan dan kemakmuran menciptakan hierarki sosial di dalam masyarakat; ketika seseorang memiliki salah satu atau keduanya, maka ia akan dinilai lebih superior dibandingkan mereka yang memilikinya dalam jumlah lebih sedikit atau bahkan tidak memilikinya sama sekali.  

Barthes menyebutkan tatanan pertama dalam lapisan makna sebagai denotasi. Denotasi adalah proses yang melaluinya diciptakan makna sehari-hari yang melaluinya diciptakan makna sehari-hari yang jelas dan sesuai dengan akal sehat (Barton, 2010: 108). Dalam instalasi Hunger inc., beras dan kursi memiliki relasi yang sangat kuat dan secara logis dapat langsung dikaitkan dengan kemakmuran dan kekuasaan. Kedua unsur tersebut secara denotatif menceritakan kasus penyelewengan beras Bulog, kemudian secara konotatif dapat dimaknai sebagai relasi antara kemakmuran dan kekuasaan yang pada akhirnya menciptakan suatu hierarki sosial.

Secara denotatif, kursi yang mengganjal tumpukan karung tersebut dapat dimaknai sebagai kebolongan/ kebocoran distribusi beras yang dapat ditutupi (secara visual diganjal) oleh kursi (kekuasaan). Sementara, beras yang berceceran dan karung-karung kosong  atau berkurang isinya menggambarkan kebocoran/ penyelewengan beras yang selama ini terjadi di dalam tubuh Bulog.

Dalam perspektif yang lain, kursi di dalam instalasi itu bukan dipersepsikan sebagai pengganjal, namun karung-karung beras tersebut tadinya justru memang sengaja diletakkan di atas kursi, namun karena sudah melebihi kapasitas kursi itu sendiri, maka kemudian karung-karung tersebut berjatuhan sampai berceceran di sekitar kursi. Makna konotasi lain yang muncul  dari perspektif ini adalah mengenai prasyarat memperoleh beras (kemakmuran) itu sendiri. Kursi (posisi/jabatan/kekuasaan tertentu) dipandang sebagai suatu tingkatan sosial yang harus dicapai untuk memperoleh beras (kemakmuran). Oleh karena itu, Elia dan Fajar menampilkan sebuah kursi yang berlimpah beras berkarung-karung (posisi/ jabatan berlimpah kemakmuran) sebagai simbolisasinya.

Selain itu, lapisan tumpukan karung beras yang berjumlah empat juga secara konotatif memiliki makna tersendiri. Jumlah tumpukan tersebut menggambarkan tingkatan hierarki dalam distribusi raskin; pemerintah pusat, Bulog, pemerintah daerah, dan yang paling bawah adalah rakyat miskin.

Tatanan kedua dalam signifikansi yang diidentifikasi oleh Barthes disebutnya konotasi. Pada level ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dlam denotasi menjadi penanda bagi babak kedua pemunculan makna. Petanda dalam level ini adalah konteks, baik personal maupun budaya, yang di dalamnya pembaca, pendengar, atau pengamat tanda memaami dan menafsirkannya (Barton, 2010: 108).

Secara konotatif, relasi kursi dan beras (kekuasaan dan kemakmuran) dapat dimaknai sebagai suatu proses rekayasa atau permainan kedudukan dan pengaruh sosial di  masyarakat (khususnya Indonesia). Beras dan kursi (kemakmuran dan kedudukan) dalam instalasi ini ditata sedemikian rupa untuk mendekonstruksi anggapan mengenai superior-inferior, atau lebih tepatnya membongkar habis-habisan permainan pembentukan hierarki sosial yang terkait dengan dua variabel tersebut. karya Hunger inc. ini dimaksudkan sebaga aksi resistensi dan penawaran paradigma baru mengenai bagaimana hierarki sosial terbentuk di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun